Muhammad Ridwan Alimuddin | Penerbit Ombak | 2011
Bagi saya, Mandar nol Kilometer adalah sarung sutera yang ditenun dengan ketelatenan nan bersahaja oleh penulisnya. Bukan hanya karena membutuhkan waktu panjang, namun juga ditenun dengan hati-hati dan menggunakan komposisi serat benang unik. Menjadikannya lebih tahan lama.
Kain sutera ini juga tampaknya sengaja dibuat untuk menjadi penambal layar bahtera sejarah Mandar dalam perjalanannya mengarung laut. Ada beberapa kebocoran, yaitu sejarah-sejarah yang tak ditemukan di buku-buku sejarah tebal. Buku ini dihadirkan untuk menambalnya, agar perjalanan Mandar dapat terus meniti waktu baik di samudera hati generasinya.
Membaca buku ini, ibarat bertamu di rumah keluarga Mandar. Tamu akan menemukan tuan rumah sedang memetik kecapi, menabuh rebana, menyaksikan tarian kuda, mendengar nyanyian merdu Mak Cammana, kisah-kisah tokohnya, cerita Mandar di tanah seberang, menyimak kisah keramah para sufi Mandar, makanan khas Mandar, semangat literasi di mandar, dan kisah lain yang ditulis secara parsial. Tetapi tetapi satu kesatuan untuk dari sejarah Mandar itu sendiri.
Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang mencintai sejarah dan mandar. Saya bukan orang Mandar, tapi ketika meminum teguk demi teguk sungai ‘amandarang’ (pengetahuan Mandar) dalam buku ini, sepertinya saya menjadi Mandar. Itu adalah semangat nilai isi lontar Mandar yang mengatakan, “Bila ada orang luar yang meminum air dari Sungai Mandar, maka Mandarlah dia.”
Membacanya bagaikan membersihkan cermin. Semakin bersih, semakin kita temukan berasgam kisah penting. Yang kadang kita lupa menuliskannya. Mungkin karena itu dia hanya sejarah kecil. Ternyata, sejarah kecil itulah yang menciptakan ‘sureq’ ke-Mandaran.
sumber : (http://koleksi-perkampunganbuku.blogspot.com/2011/07/koleksi-juli-2011-mandar-nol-kilometer.html)
0 Leco Leco na ::
Posting Komentar