ANALISIS PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI
(Studi kasus: Kawasan Rante Buluang Mamuju)


Pengembangan permukiman transmigrasi di Kabupaten Mamuju telah lama dilakukan, namun pada tahapan implementasi terkandang menemui kesulitan dilapangan dan pada akhirnya program tersebut tidak berlanjut. Penelitian ini mengetengahkan mengenai kajian dalam pengembangan kawasan permukiman transmigrasi dengan tujuan menemukenali faktor-faktor yang terkait dengan pengembangan permukiman transmigrasi di kawasan Rante Buluang dan membuat konsepsi pengembangan permukiman transmigrasi sehingga dapat layak huni, layak usaha, dan layak berkembang, sehingga kawasan permukiman transmigrasi dapat menyatu baik dari aspek fisik maupun sosial budaya antara masyarakat pendatang dan masyarakat setempat.

A. Pendahuluan.
Program transmigrasi merupakan salah satu upaya pemerinyah dalam rangka menunjang pembangunan nasionakl yaitu untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah yang masih terbelakang perkembangannya, juga melalui program transmigrasi ini diharapkan lahan-lahan kritis yang ada dapat ditingkatkan melalui suatu pembinaan dan pengelolaan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan dan dipadukan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang dibekali ketrampilan untuk mengelolanya.
Dalam kaitannya dengan upaya pemerataan hasil pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi segenap lapisan masyarakat, program Transmigrasi merupakan karya nyata yang diharapkan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan, baik bagi kesejahteraan kehidupan para Transmigran, maupun bagi masyarakat yang berada disekitar lokasi permukiman Transmigrasi.
Program Transmigrasi juga telah mengakibatkan berbaurnya dua atau lebih kondisi sosial budaya yang berbeda, sehingga meningkatkan rasa persaudaraan dan persatuan. Kondisi demikian akan memperkuat ketahanan nasional dan akan memperlancar pembangunan nasional.
Melalui studi ini diharapkan dapat mendorong keberhasilan pengembangan wilayah maupun peningkatan pendapatan serta mengoptimalkan potensi daerah. Sedangkan untuk menunjang orientasi pemasaran dan aksesibilitas (tingkat kemudahan) dengan daerah lain diwujudkan dalam program pembangunan jalan.
Program pengembangan permukiman transmigrasi pada dasarnya adalah untuk mendukung kriteria layak huni, layak usaha, dan layak berkembang. Sebagai perencanaan permukiman, hasil ini pada tahap selanjutnya akan merupakan acuan dan dasar pelaksanaan didalam pekerjaan–pekerjaan fisik, yaitu pekerjaan pembukaan lahan, penyiapan bangunan dan infra struktur permukiman lainnya, maupun pekerjaan yang bersifat kelembagaan sosial ekonomi, pada saat permukiman Transmigrasi telah difungsikan.

B. Maksud Dan Tujuan
Studi pengembangan Permukiman Transmigrasi ini dimaksudkan untuk menghasilkan kajian pelaksanaan fisik, sebagai berikut;
Menemukan kesesuaian lahan untuk pengembangan permukiman transmigrasi, baik untuk perumahan maupun untuk kegiatan budidaya.
Menentukan pola jaringan jalan penghubung, jalan poros, jalan desa dan fasilitas umum.
Tujuan studi pengembangan permukiman transmigrasi kawasan Rante Buluang Kabupaten Mamuju adalah;
Menemukenali faktor-faktor yang terkait dengan pengembangan permukiman transmigrasi di kawasan Rante Buluang.
Membuat konsepsi pengembangan permukiman transmigrasi sehingga dapat layak huni, layak usaha, dan layak berkembang.


Kajian Pengembangan
Lokasi studi pengembangan permukiman transmigarasi di Kampung Rante Buluan di Kelurahan Sinyonyoi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.
Letak lokasi studi secara geografis terletak antara 1190 02–1190 050 Bujur Timur dan 020 38 – 020 420 Lintang Selatan. Secara administrasi lokasi studi Rante Buluang berbatasan dengan :
Utara : Berbatasan dengan Salu Petakeang
Selatan : Berbatasan Bukit Topokimba
Barat : Berbatasan Sungai Gentungan
Barat : Berbatasan dengan Uhai Dango
Pencapaian lokasi studi dari Ibukota Provinsi Sulawesi Barat dapat ditempuh melalui jalan darat dengan rute perjalanan Mamuju–Kalukku–Kelurahan Sinyonyoi–Desa Bebanga- Dusun Gentungan-dilanjutkan ke kampung Kanang-Kanang-ke Lokasi Studi dengan jarak tempuh sekitar ± 36 Km.

Hidroklimatologi Kawasan
a. Temperatur
Penyinaran matahari sebagian besar mencapai permukaan tanah. Penyinaran yang mencapai permukaan tanah dipantulkan ke udara dan meningkatkan suhu udara sedangkan sisanya diabsorbsi ke dalam tanah dan meningkatkan suhu tanah. Jika temperatur udara dan tanah cukup tinggi, proses evaporasi berjalan lebih cepat dan sebaliknya. Kemampuan udara untuk menyerap air berbanding lurus dengan kenaikan suhunya, maka suhu udara memiliki efek ganda terhadap besarnya evaporasi dengan mempengaruhi kemampuan udara menyerap uap air dan pempengaruhi suhu tanah yang mempercepat penguapan, sedangkan suhu tanah dan air hanya memiliki efek tunggal.
Besarnya temperatur rerata bulanan pada daerah studi berdasarkan data dari stasiun klimatologi pada daerah tersebut dengan nilai rerata tahunannya sebesar 28.69 OC.

b. Penyinaran Matahari
Evaporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini berjalan terus hamper tanpa berhenti di siang hari. Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan energi berupa panas untuk evaporasi. Proses perubahan ini akan sangat aktif jika ada penyinaran Matahari langsung. Besarnya penyinaran matahari rata-rata bulanan sebesar 6.41 jam/hari.

c. Kelembaban Relatif
Jika kelembaban relatif (relative humidity) udara naik, maka kemampuan udara menyerap uap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya menurun. Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara yang sama kelembaban relatifnya tidak memberi pangaruh yang signifikan dalam memperbesar evaporasinya. Besarnya kelembaban rerata bulanan pada lokasi sesuai dengan stasiun klimatologi yang ada senilai rerata tahunannya sebesar 93.08 %.

d. Kecepatan Angin
Jika air menguap ke atmosfir maka lapisan batas antara permukaan tanah dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan berhenti. Agar proses tersebut dapat berjalan terus, lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering. Proses penggantian itu dapat berlangsung jika ada angin yang memindahkan komponen uap jenuh, sehingga peranan kecepatan angin dalam proses penguapan cukup berpengaruh. Besarnya kecepatan angin rerata bulanan pada lokasi studi dengan nilai rata-rata tahunannya sebesar 48.75 km/jam.

e. Neraca Air
Metode yang digunakan dalam menghitung Evapotranspirasi adalah metode Penman modifikasi. Data klimatologi yang digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi diambil dari stasiun Rangaranga, Mamuju. Persamaan-persamaan yang digunakan dalam metode Penman modifikasi (Sumber : Pedoman pengembangan Sumber Air, PSA-010) adalah sebagai berikut;

Eto= c . ET*
ET* = w (0,75 Rs - Rn1) + (1 - w) f(u) (ea- ed)

Dimana :
w = Faktor yang berhubungan dengan temperatur (t) dan elevasi daerah. Untuk daerah Indonesia dengan elevasi antara 0 - 500 m.
Rs = Radiasi gelombang pendek dalam satuan evaporasi (mm/hari)
= (0,25 + 0,54 n/N) Ra
Ra = Radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfir (angka angot) yang dipengaruhi oleh letak lintang daerah.
Rn1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari)
= f(t) . f(ed) . f(n/N)
f(t) = Fungsi suhu
= s . Ta4
= Konstanta
Ta = Suhu (0K).
f(ed) = Fungsi tekanan uap
= 0,34 - 0,44 . Ö(ed)
f(n/N) = Fungsi kecerahan
= 0,1 + 0,9 n/N
n = Jumlah jam
N = Lama Sinaran (jam).
f(u) = Kecepatan angin (m/dt)
= 0,27 (1 + 0,864 u)
u = Kecepatan angin (m/dt)
(ea-ed)= = Perbedaan tekanan uap
ed = ea . Rh
Rh = Kelembaban udara relatif (%)
ea = Tekanan uap jenuh (mbar)
ed = Tekanan uap (mbar)
c = Angka koreksi Penman.

f. Sumber Daya Air
· Air Permukaan
Dilokasi studi terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun yaitu Salu Gentungan serta anak-anak sungainya. Untuk mengetahui potensi air sungai dilokasi studi, telah dilakukan pengukuran aliran (debit) terhadap sungai-sungai yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih maupun sumber air pertanian.
· Air Hujan
Lokasi studi dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar > 2000 mm/tahun. Termasuk daerah yang mempunyai curah hujan, dan juga dengan tidak terdapatnya bulan kering (CH <>


Keterangan :
TAH = Tampungan Air Hujan (Liter)
A = Luas Atap (36 m2)
CH = Jumlah Curah Hujan
Kp = Koefisien Penampungan (0.8)

Dengan menggunakan rumus diatas curah hujan rata-rata bulanan 260 mm/bulan, maka vol air yang dapat ditampung dalam satu bulan adalah 7488 l / bulan, setara dengan 249,6 l /hari. Dari perhitungan tersebut, maka air atap dapat memenuhi kebutuhan air warga transmigran. Dengan melihat rata-rata hari hujan/bulan adalah 8,8 hari, sehingga setiap KK memerlukan bak penampungan.

Sumber Daya Hutan dan Tata Guna Lahan
Metode Penelitian
Secara umum penelitian sumber daya hutan dan tata guna lahan dilokasi studi Rante Buluang dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan studi ditinjau dari segi kehutanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tegakan, kelas hutan, status hutan, penggunaan lahan serta penelitian jenis flora dan fauna di lokasi studi Rante Buluang.
Untuk mencapai tujuan, maka penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
Untuk mengetahui potensi tegakan hutan dilakukan dengan cara inventarisasi tegakan dengan intensitas 1% dari luas areal yang berhutan di lokasi studi Rante Buluang. Inventarisasi tegakan dilaksanakan untuk mengenal dan mencatat nama dari semua jenis pohon (nama daerah), mengukur keliling pohon, menaksir dan mencatat tinggi pohon sampai batas bebas cabang. Pengenalan jenis pohon dilakukan dengan bantuan tenaga pengenal pohon setempat. Selanjutnya volume dihitung dengan menggunakan rumus :


Dimana :
V= Volume Pohon (m3)
d= Diameter Pohon (m)
t = Tinggi Pohon Bebas Cabang (m)
= 3.14

Garis tengah dihitung dari hasil pengukuran keliling pohon, yang diukur pada ketinggian 130 cm dari atas permukaan tanah atau 10 cm diatas banjir untuk semua jenis pohon yang tidak rusak. Klasifikasi diameter yang dibuat adalah 7 – 30 cm, 31 – 40 cm, 41 – 60cm dan > 60 cm.
Situasi penggunaan lahan diteliti dengan melakukan pengamatan di sepanjang topografi, kategori penggunaan lahan yang ada pada setiap jalur pengamatan dicatat dan dipetakan mengenai bentuk penggunaan lahan dan jenis tanamannya.
Kelas hutan diketahui berdasarkan jumlah pohon ekuivalen/Ha. Perhitungan jumlah pohon diekuivalen dilakukan dengan menggunakan rumus :

Keterangan :
JPE= Jumlah pohon ekuivalen
A = Jumlah pohon / ha yang berdiameter 7 - 30 cm.
B = Jumlah pohon / ha yang berdiameter 31- 60 cm.
C = Jumlah pohon / ha yang berdiameter 61- 90 cm.
D = Jumlah pohon / ha yang berdiameter 91- 120 cm.

Tata guna Hutan
Tata guna hutan kesepakatan dan status hutan diketahui dengan mengacu kepada peta Monitoring Batas Kawasan Hutan Kabupaten Mamuju, Departemen Kehutanan Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Wilayah VII Provinsi Sulawesi Barat setelah dikonfirmasikan dengan dinas kehutanan dan kanwil kehutanan Propinsi Sulawesi Barat. Lokasi studi Rante Buluang berstatus Hutan Produksi yang dapat dikonversi.

Sumber Daya Lahan
g. Kemiringan Lahan
Untuk menentukan batas kelompok kemiringan lahan dilakukan dengan cara interpolasi luas kemiringan yang dominan, dari hasil pengamatan dilapangan, lokasi survey (Rante Buluang) sebagian besar mempunyai kemiringan lahan yang bergelombang sampai berbukit, yaitu dengan kelas kemiringan lahan (15- 25 %) Sedangkan luas lahan yang disurvey meliput luas 1.489.21Ha. Dari pengamatan dilapangan kelas kemiringan lahan diareal survey adalah sebagai berikut :

Tabel 1.
Kemiringan Lereng Lokasi Studi



Luas
(Ha) (%)
1 Datar 0 - 8 187.32 12.58
2 Agak 8 - 15 135.61 9
3 Bergelombang 15 - 25 551.12 37
4 Bergunung 25 - 45 321.89 22
6 Curam > 45 293.27 20
Jumlah 1.489,21 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan, 2007

h. Tanah dan Klasifikasi Lahan
Tanah
1. Geomorfologi
Berdasarkan hasil deskripsi profil tanah menunjukkan bahwa tanah di daerah studi berkembang dari bahan induk Tuf masam, batuan pasir, sedimen kwarsa dan merupakan bahan angkutan dari bahan induk residu dimana pelapukan telah berlangsung lama dan intensif.

2. Klasifikasi Lahan.
Kalsifikasi Lahan didasarkan dengan berpedoman kepada “Terminologi dalam Term of Reference Pusat Penelitian Tanah (PPt,1983)” yang padanannya menurut “Sistem Soil Key to Taxonomy (Soil Survey Staff,1992)” dan Satuan Peta Tanah Dunia (FAO/UNISCO, 1985).
Berdasarkan hasil pengamatan, pada daerah studi yang ditunjang data bor, deskripsi profil dan analisa laboratorium, macam tanah yang dijumpai pada daerah studi Rante Buluang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.
Klasifikasi Tanah Pada Areal Survey Beserat Padanannya

PPT (1993) SOIL S.STAFF
(1990) FAO .
(1985) USDA Soil
(1975) Luas (Ha)
PodsolikCoklat Podsolik Acrisol Ultisol 967,98
Latosol Kambisol Cambisol Inceptisol 521,22
Sumber : Hasil perhitungan, Tahun 2007

i. Deskripsi Tanah
Podsolik Merah Kuning
Secara umum tanah ini terbentuk pada hutan berdaun lebar atau hutan campuran dari yang berdaun lebar dan berdaun jarum (conifer). Tanah berkembang dari bahan induk tuf masam, batuan pasir dan sediment kwarsa. Profil mempunyai warna Merah atau Kuning disebabkan oleh kandungan yang tinggi dari liat oksida besi. Illuviasi liat di horizon B2 terutama terdiri dari liat tipe 1 : 1 seperti kaolinit dengan jumlah seskuioksida yang bervariasi. Meskipun pelapukan agak lebih lanjut, tanah ini masih mempunyai kandungan mineral-mineral yang nudah lapuk (mika, felspar) dalam fraksi kasar. Kejenuhan basah rendah (<20>
Latosol
Tanah-tanah ini berkembang pada hutan hujan tropic baik dari bahan-bahan angkutan maupun dari bahan induk residu dimana pelapukan berlangsung lama dan intensif. Kecuali kwarsa, semua mineral-mineral primer menghilang suatu profil yang terutama terdiri dari liat atau campuran pasir kwarsa dan liat. Solum tebal (1.5- 10 meter) berwarna merah hingga kuning. Kandungan liat pada seluruh bagian profil sangat seragam, sehingga tidak terdapat horizon B2 yang jelas. Kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation pada tanah ini umumnya rendah, tanah agak masam (pH 5,6-6,0).

d. Kesuburan Tanah
1. Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah dinilai dari kemampuan dalam menyediakan unsur hara yang diperlukan bagai tanaman, dan juga dari kemungkinan adanya unsur-unsur yang menghambat pertumbuhan tanaman. Faktor kesuburan tanah sangat menentukan keberhasilan budidaya pertanian.
Untuk memperoleh gambaran mengenai kesuburan tanah di daerah studi, dilakukan pengambilan contoh tanah komposit pada kedalaman 0 - 30 cm dam 30 - 60 cm, dan selajutnya dianalisa di laboratorium. Jenis analisa yang dilakukan meliputi kandungan C, C/N Ratio, kemasaman tanah (pH tanah), kadar P2O5 (Potensial tersedia), kation-kation basa (Ca, Mg, Na dan K), K-total, Kapasitas Tukar Kation dan Kejenuhan Basa.
C- Organik, N -Total dan C/N ratio
Kandungan C-organik pada daerah studi mempunyai kriteria rendah sampai sangat rendah, dengan nilai berkisar 1,20% (kedalaman 0-30 cm), dan status sangat rendah (1,15%) pada semua SUL 9 dan 10. Kadar nitrogen total dalam tanah (kedalaman 0-30 cm) berkisar rendah sampai sangat rendah, kadar nitrogen sangat rendah pada SUL 10 (0,09 %) dan rendah pada SUL 1-9 (0,13%).
Kapasitas Tukar Kation
Pada daerah studi nilai KTK rendah-sedang, dengan nilai KTK berkisar 7,8 - 23,10 me/100 g. Kapasitas Tukar Kation sangat berpenagruh terhadap kemampuan tanah dalam menyerap dan melepaskan kembali unsur-unsur hara terutama kation-kation, sehingga tersedia bagi tanaman dan juga meningkatkan efisiensi pemupukan.
Kejenuhan Basa
Dari hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa kandungan unsur-unsur kation basa pada daerah studi pada umumnya rendah. Untuk kalsium mempunyai kriteria rendah dengan nilai berkisar 3,65-5,56 me/100 g. kandungan kalsium rendah pada semua SUL (0,11-0,50 me/100 g). Kandungan magnesium pada umumnya tinggi dengan nilai berkisar 2,57-3,52 me/100 g. Kandungan natrium menunjukkan nilai rendah terdapat pada semua SUL (0,21-0,28 me/100 gram.. Kejenuhan basa pada tanah-tanah didaerah studi adalah rendah.

Reaksi Tanah
Derajat kemasaman tanah atau pH tanah ditetapkan dengan pelarut H2O dan KCL 1 N. Dari hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa tanah-tanah pada daerah studi umumnya mempunyai tingkat kemasaman agak masam sampai masam dengan nilai (4,87-6,09). Nilai pH tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya unsur hara di dalam tanah mudah diserap akar tanaman karena pada kisaran pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air terutama unsur hara makro yakni unsur N, P dan K.

e. Sifat Fisik Tanah.
Sifat fisik tanah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Sifat-sifat tersebut mempengaruhi pengolaan dan pengolahan tanah. Dalam analisa sifat fisik tanah pada penelitian kali ini ditekankan untuk tujuan perhitungan bahaya erosi. Dengan demikian pengambilan contoh tanah untuk “ring sample” dilakukan pada lahan-lahan dengan kemiringan > 8 % atau dengan potensi erosi yang diperkirakan besar.
Dari contoh tanah, beberapa sifat fisik tanah yang telah dianalisa meliputi : tekstur, bobot isi, ruang pori total, air tersedia, dan permeabilitas tanah.
Air Tersedia
Air tersedia merupakan air terlapis pada sebagian volume tanah yang dapat digunakan oleh tanaman. Berdasarkan kurva pF, air tersedia merupakan air yang dapat ditahan oleh tanaman antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.
Air tersedia dalam tanah akan menentukan efisiensi penggunaan pupuk dan tindakan pengolahan tanah. Dengan demikian prediksi air tersedia bagi tanaman merupakan tindakan untuk menjamin pendapatan usaha tani yang optimal.
Permeabilitas Tanah
Permeabilitas tanah adalah kecepatan bergeraknya air dalam kolom tanah secara vertical dalam keadaan jenuh dan dinyatakan dalam cm/jam. Permeabilitas ini sangat ditentukan oleh tekstur, struktur, bahan organik dan pori-pori tanah. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa laboratorium, tanah-tanah pada lapisan atas mempunyai permeabilitas agak lambat sampai cepat (1,20 mm/jam), permeabilitas cepat terdapat pada SUL 1,2,3 dan 15 (20,5 mm/jam).
Tekstur Tanah
Tekstur merupakan sifat fisik tanah yang hampir tidak dapat diubah dengan pemberian perlakuan pengolahan tanah. Oleh karena itu perbandingan fraksi pasir, debu dan liat yang seimbang akan membentuk reaksi tanah yang baik dan ketersediaan air yang akan mendukung pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil analisa laboratorium, tekstur tanah pada daerah studi meliputi lempung, lempung berliat dan liat. Tekstur lempung terdapat pada SUL 6.
Potensi Erosi Tanah
Erosi tanah merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan dan timbulnya lahan – lahan kritis. Keadaan lingkungan akan rusak dan banjir daerah hilir serta pendangkalan sungai akan meningkat.
Untuk memprediksi besarnya erosi yang akan terjadi pada suatu lahan, dapat diprediksi dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). sebagai berikut :


Dimana :

A= Banyaknya tanah yang diterosi
R= Indeks erosivitas hujan
K= Faktor erodibilitas tanah
L= Panjang Lereng (meter)
S= Kemiringan Lahan (%)
C= Faktor vegetasi penutup tanah dan pengolahan tanaman
P= Faktor Tindakan Konservasi

Untuk mencari nilai R digunakan persamaan Bols (1976) sebagai berikut :

Dimana :
EI30= Erosivitas hujan
R = Curah hujan rata-rata bulanan dalam (cm)
D = Jumlah rata-rata hujan bulanan
M = Jumlah hujan rata-rata .

Faktor pengelolaan tanaman (C) diperoleh dari data penggunaan lahan. Secara umum penggunaan lahan daerah studi (aktual) adalah hutan dan semak belukar, sehingga nilai C = 0,8 dan 0,31. Faktor konservasi dianggap tidak ada perlakuan (1, 00).
Setelah lahan digunakan atau diusahakan, maka terjadi perubahan penggunaan lahan yaitu pada awalnya hutan dan semak belukar berubah menjadi lahan pekarangan atau lahan usaha dengan jenis tanaman lahan kering dan tanaman tahunan yang dilakukan sejajar kontur. Sedangkan SUL 1, 9, 10, 11, 13 dan 15 diperuntukkan sebagai lahan konservasi atau lahan yang tidak dibuka.
Tabel 3.
Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi

Nilai Indeks Erosi Harkat
<>
1,01 – 4,00
4,01 – 10,00
>10,01 Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi

Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Kesesuaian suatu wilayah dapat berbeda tergantung dari faktor pembatas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial.
Kesesuaian Lahan Aktual
Kesesuaian lahan aktual adalah kelas kesesuaian lahan berdasarkan keadaan/kondisi saat ini dengan kriteria standar dari pedoman pengelompokkan kesesuaian lahan. Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan aktual belum diperhitungkan faktor input yang diberikan untuk mengatasi pembatas yang ada.
Kesesuaian Potensial
Kesesuaian lahan potensial adalah keals kesesuaian lahan berdasarkan keadaan setelah adanya perbaikan berupa input teknologi yang diberikan guna menghilangkan atau mengurangi faktor pembatasnya sehingga kelas kesesuaian lahan dapat ditingkatkan. Dalam pemberian atau penerapan input perbaikan, jelas input yang dilakukan terbagi kedalam 3 tingkat kemudahannya, baik ditinjau dari segi pelaksanaan maupun pendanaanya.

Konsep Pengembangan Permukiman.
Tahap analisis tata ruang merupakan salah satu tahapan menuju keproses akhir (rencana). Dalam analisa ini dimaksudkan untuk melihat dan menilai kondisi lokasi survey (wilayah studi) untuk dapat difungsikan sebagai peruntukkan lahan terbangun dengan tetap mempertimbangkan aspek fisik dan aspek non fisik.
Pertimbangan aspek fisik yang menyangkut kondisi dari daya dukung lahan baik potensi maupun kendala yang ada, sedangkan aspek non fisik menyangkut kebijaksanaan daerah maupun instansi vertikal yang terkait.
Berdasarkan hasil survey diwilayah studi, ditinjau dari jenis penggunaan lahan terdiri dari beberapa jenis pola penggunaan lahan yang didominasi oleh hutan produksi yang dapat dikonversi dengan kondisi topografi antara 8 - 40 % (datar hingga bergunung). Dari kondisi yang ada dalam peruntukkan sebagai lahan terbangun, hanya terdapat sebagian luas lahan yang dapat difungsikan sebagai wilayah pengembangan program transmigrasi khususnya lahan pekarangan, pusat desa dan fasilitas umum. Begitupun untuk lahan tidak terbangun dialokasikan sebagai pengembangan pertanian lahan kering (perkebunan) sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah setempat.
Selain hal yang dikemukakan diperlukan pula adanya peruntukan lahan konservasi pada lokasi yang dinilai dapat menimbulkan khususnya pada wilayah yang memiliki kisaran lereng yang curam dan daerah yang terdapat pertemuan dua anak sungai. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya tertuju pada keselamatan jiwa manusia khususnya di wilayah studi dan wilayah Kabupaten Mamuju pada umumnya.
Pertimbangan yang menjadi dasar bagi pengembangan program khususnya menyangkut ketersediaan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh penduduk yang berada dilokasi transmigrasi adalah daya jangkau. Dalam hal keberadaan fasilitas tersebut terdapat pula beberapa fasilitas umum/fasilitas sosial yang keberadaannya telah ada saat ini di Kelurahan Sinyonyoi. Keberadaan fasilitas tersebut perlu mendapat analisis untuk dinilai dalam hal kelayakan apakah ditetapkan atau dialih fungsikan sebagai peruntukan fasilitas yang dimaksud. Pertimbangan lain sebagaimana uraian yang dimaksud adalah kemungkinan terjadinya pertumbuhan pembangunan yang merata dalam wilayah studi sebagai akibat pengembangan fasilitas yang telah ada. Dengan pertimbangan diatas dimana wilayah yang dimaksud akan menjadi embrio pertumbuhan permukiman.

1. Daya Tampung dan Alokasi Lahan
Selain analisis tata ruang yang telah dikemukakan selanjutnya akan dikemukakan pula mengenai daya tampung dan alokasi lahan yang akan dikembangkan. Dalam memenuhi daya tampung dan alokasi lahan yang akan direncanakan, aspek analisis tata ruang tetap menjadi salah satu pertimbangan utama khususnya menyangkut tingkat daya dukung atau tingkat kemampuan dari lahan yang ada.
Berdasarkan hasil analisis dengan melihat dan menilai kondisi lahan pada wialyah studi baik kondisi topografi, pola penggunaan lahan, keberadaan sungai besar dan sungai kecil maka besarnya luas lahan yang dibutuhkan sesuai dengan tingkat daya tampung lahannya adalah sebagai berikut :
Lahan Pekarangan berjumlah 300 K dengan luas lahan per KK adalah 0,25 ha sehingga total luas lahannya adalah 75 Ha yang dialokasikan pada wilayah yang kemiringan lerenganya termasuk wilayah yang datar hingga bergelombang (0 – 15%).
Pusat Desa dan Fasilitas Umum dengan luas lahannya adalah 6 Ha yang dialokasikan pada lokasi yang dikelilingi oleh lahan permukiman.
Lahan Usaha I seluas 0,75 Ha sehingga total luas lahan yang dibutuhkan adalah 225 Ha yang dialokasikan pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng antara 16-25% sebagaimana dalam uraian analisis tata ruang.
Lahan Usaha II seluas 1 Ha sehingga total luas lahan yang dibutuhkan adalah 300 Ha yang dialokasikan pada wilayah yang memiliki kisaran lereng antara 16 – 25% sebagaimana dalam uraian analisis tata ruang.
Sehubungan dengan peruntukan lahan yang akan direncanakan dan besarnya tingkat daya tampung yang akan dikembangkan pada wilayah studi, maka total luas lahan dibutuhkan adalah 600 Ha (belum termasuk peruntukkan luas lahan penunjang lainnya).
Penyiapan lahan merupakan kegiatan yang menyangkut penentuan tata ruang permukiman, kegiatan pembukaan lahan, metode pembukaan lahan, perkiraan jumlah penduduk yang terkena proyek serta volume dan biaya penyiapan lahan.

2. Konsep Pengembangan Permukiman.
Tata ruang permukiman merupakan konsep pemanfaatan ruang sesuai dengan kebutuhan dasar hasil analisis. Rencana pengembangan permukiman Transmigrasi Rante Buluang menyangkut pola penataan dalam pemanfaatan ruang untuk kebutuhan antara lain :
· Lahan Pekarangan
· Lahan Kegiatan Budidaya I
· Lahan Kegiatan Budidaya II
· Pusat Desa dan Fasilitas Umum

Rencana pengembangan permukiman Transmigrasi di Rante Buluang dibuat dengan skala peta 1 : 5000 dengan penentuaan blok-blok permukiman sesuai dengan daya tampung lahan yang tersedia, sedangkan rencana tata ruang dengan skala peta 1 : 5000 diarahkan dengan pengaturan kapling-kapling sesuai dengan peruntukan lahan yang tersedia. Besaran lahan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4.
Alokasi Pemanfaatan Lahan Lokasi Transmigrasi Rante Buluang


No

L u a s
(Ha) (%)
1
2
3
4
5
6
7
8 Lahan Pekarangan
Lahan Usaha I
Lahan Usaha II
Lahan Fas. Umum.
Jalan Utama
Jalan Desa
Jalan Kebun
Lahan Konservasi 75,00
225,00
300,00
13,80
2,39
7,87
5,84
859,67 5,09
15,18
20,19
0,97
0,19
0,58
0,39
57,39
J U M L A H 1.489,21 100,00
Sumber : Hasil analisa , Tahun 2007

Sedangkan daya tampung kawasan permukiman transmigrasi di bagi dalam 3 blok utama, sebagaimana pada tabel 5





Tabel 5.
Daya Tampung Menurut Blok Permukiman Transmigrasi

No Daya Tampung
LP
(KK) LU I
(KK) LU II
(KK)
1
2
3
4
5
6 A
B
C
D
E
F 60
60
30
60
60
30 60
60
30
60
60
30 60
60
30
60
60
30
Jumlah 300 300 300
Sumber :Hasil analisis , Tahun 2007

3. Rencana Kebutuhan Ruang.
Volume penyiapan lahan menyangkut biaya pembukaan lahan sesuai dengan peruntukan dari masing-masing elemen yang dibutuhkan, untuk lebih jelasnya perincian kebutuhan lahan dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6.
Volume Penyiapan Lahan

Jenis Penggunaan Lahan
Luas
Ha %
1
2
3
4
5


6 L. Pekarangan
Lahan Usaha I
Lahan Usaha II
Fasilitas Umum
Jaringan Jalan;
§1 Jalan Utama
§2 Jalan Desa
§3 Jalan Kebun
Lahan Konservasi 75
225
300
13.80

2.39
7.87
5.84
859.67 5.09
15.18
20.19
0.97

0.19
0.58
0.39
57.39
Jumlah 1.489,21 100.00
Sumber : Hasil analisis , Tahun 2007

4. Rencana Pengembangan Permukiman
Penyediaan sarana dan prasarana permukiman merupakan kegiatan tahap selanjutnya dari pengembangan kawasan Pemukiman Transmigrasi Rante Buluang Kelurahan Sinyonyoi. Kegiatan penyiapan bangunan permukiman menyangkut kondisi lahan, ketersediaan material bangunan dan jenis bangunan.


Kondisi Lahan
Kondisi lahan yang diperuntukkan untuk lahan permukiman merupakan bentuk lahan dengan kisaran lereng antara 0 – 15 % yang dikategorikan sebagai lahan yang datar hingga bergelombang. Ditinjau dari daya dukung lahannya, memiliki daya dukung lahan yang tinggi dalam arti sesuai bagi peruntukkan lahan terbangun. Berdasarkan kondisi lahan yang dimaksud diatas, khususnya pola yang ada merupakan areal yang pada umumnya ditumbuhi oleh tumbuhan semak belukar, kebun campuran, dan hutan produksi terbatas yang dikategorikan sebagai lahan yang kurang terawat karena telah ditinggalkan oleh penduduk dan tidak digarap.

b. Ketersediaan Material Bangunan
Untuk bahan bangunan berupa kayu, balok, dan papan yang berfungsi sebagai dinding bangunan serta semen, sebagian kecil bahannya terdapat disekitar lokasi survey. Akan tetapi bahan bangunan tersebut pada umumnya diperoleh di pusat pemasaran regional (Kota Mamuju). Hal ini didasarkan perbedaan harga untuk pasar lokal dan pasar regional mengingat jumlah bahan bangunan yang dibutuhkan untuk program yang akan dilaksanakan sangat banyak. Dengan demikian ditinjau dari tingkat kemudahan untuk memperoleh bahan yang dimaksud juga merupakan bukan suatu kendala bagi pengembangannya karena lokasi survey untuk menuju ke pusat kota memiliki akses yang tinggi dalam arti mudah dicapai karena dilalui atau berada dekat dengan jalan poros yang menghubungkan lokasi survey dengan pusat Kota Mamuju.
c. Jenis Bangunan
Kebutuhan penyediaan bangunan tentunya harus memperhatikan jenis bangunan, dimana jenis bangunan yang menyangkut bangunan rumah transmigran dan fasilitas umum disarankan sesuai dengan karakteristik atau kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Mengingat calon transmigran dari daerah setempat dan potensi yang ada, dijadikan sebagai pertimbangan untuk penentuan jenis bangunannya.

d. Fasilitas Umum
Penentuan kebutuhan bangunan fasilitas umum disesuaikan dengan kebutuhan transmigran daerah setempat serta pertimbangan daerah usaha transmigran. Bangunan fasilitas umum sebaiknya dengan konstruksi permanen mengingat bangunan ini mudah dan dapat mengurangi biaya perawatan/ pemeliharaan. Disamping itu pemanfaatan bangunan tersebut memiliki jangka waktu cukup panjang.
Pertimbangan diatas bukan merupakan suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan, hal ini disesuaikan dengan kondisi dan keberadaanya. Sebagaimana dengan wilayah pada lokasi survey yang saat ini telah terdapat fasilitas umum yang keberadaannya bukan pada lahan permukiman, namun masih dalam wilayah Kelurahan Sinyonyoi.
Untuk mengantisipasi timbulnya kesenjangan sosial dalam masyarakat dan adanya pemerataan petumbuhan pembangunan wilayah, maka fasilitas tersebut sebaiknya ditetapkan dan dikembangkan sebagai fasilitas pendidikan baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, khususnya bagi calon transmigran di Kelurahan Sinyonyoi dan para transmigran yang telah ada. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah fasilitas pendidikan tersebut mengenai lokasinya akan direncanakan berada atau dilalui jalan poros yang menghubungkan wilayah Kelurahan Sinyonyoi dengan wilayah desa lainnya serta wilayah calon transmigran dengan wilayah transmigran yang telah ada.

e. Perumahan Transmigran
Desain bangunan rumah transmigran sesuai dengan kebutuhan sebanyak 300 KK, sebaiknya disesuaikan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini untuk menciptakan rasa aman, tenang, bagi para transmigran. Bangunan tersebut perlu pula diupayakan modifikasi agar kondisi bangunan dan lingkungan perumahan memenuhi standar kelayakan huni, yaitu rumah yang sehat bersih.
Konstruksi bangunan sebaiknya semi permanen, yaitu bangunan dinding rumah setengah pasangan batu dan setengah pasangan kayu.
Peletakan rumah transmigran membentuk 3 (tiga) blok yang mengelompok berhadapan, hal ini untuk menciptakan keterkaitan antar transmigran agar lebih kuat, serta pengaturan dalam pemeliharaan jalan dapat dilakukan bersama-sama, selain itu calon transmigran dapat memanfaatkan 1 sumur bor untuk 5 (lima) KK.

f. Penyediaan Air Bersih
Berdasarkan hasil pengamatan sumber air bersih di sekitar lokasi survey, khususnya di Kelurahan Sinyonyoi dan desa-desa sekitarnya, menunjukkan sumber air bersih umumnya didapat dari sumber air sungai dan sumur bor. Hasil uji dan pengukuran kedalaman sumur-sumur tersebut dengan kedalaman 30 meter. Dalam satu sumur bor mempunyai debit cukup untuk mencukupi kebutuhan 5 (lima) KK.
Berdasarkan hasil analisis sumber air bersih di atas, maka pengadaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan 300 KK diprioritaskan melalui pemanfaatan sumber air sungai dan sumur bor.


Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil studi pengembangan permukiman transmigrasi Rante Buluang maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Aksesibilitas menuju kawasan permukiman transmigrasi Rante Bulung masih relatif rendah, hal tersebut disebabkan oleh kondisi jaringan jalan yang berupa tanah.
Kemirinngan lahan lokasi studi Rante Buluang bervariasi dari datar hingga bergunung, sehingga harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan, terutama untuk lahan permukiman dan fasilitasnya.
Dengan mempertimbangkan segala aspek faktor pembatas seperti tanah, lereng, iklim, drainase, permeabilitas, kesuburan tanah dan lain sebagainya, maka kesesuaian lahan di lokasi studi adalah Sesuai Marginal S3 dengan faktor pembatas utama adalah kelerengan dan kesuburan tanah, maka tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan kawasan transmigrasi relative baik.
Untuk memenuhi Kebutuhan air baku guna memenuhi keperluan hidup sehari-hari adalah dengan menggunakan sumber air permukaan (sungai) dengan sistem perpipaan.
Kelayakan usaha transmigrasi yang dimungkinkan dan memenuhi kriteria sebagai kawasan transmigrasi, karena layak huni, layak usaha dan layak berkembang.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka dalam pengembangan permukiman transmigrasi di Kampung Rante Buluang Kabupaten Mamuju, disarankan sebagai berikut;
Dari aspek pencapaian lokasi perlu rehabilitasi jalan penghubung antara lokasi studi dengan daerah luar. Perbaikan ini baik berupa perbaikan terase jalan, elevasi maupun jenis perkerasan. Keberadaan jalan ini merupakan penghubung utama dengan panjang 5 Km.
Dalam melaksanakan pembukaan lahan disarankan untuk memakai alat-alat manual atau semi manual. Hal ini untuk menjaga agar jangan sampai Top Soil di lokasi studi jadi rusak.
Mengingat transmigrasi yang akan dilaksanakan adalah transmigrasi lokal, yaitu para penduduk sekitar Kelurahan Sinyonyoi serta desa-desa sekitarnya, maka sebaiknya perlu diadakan penyuluhan tentang pertanian dan peternakan sebagai pemicu untuk bisa lebih cepat maju, dan meninggalkan pertanian pola lama (ladang berpindah).
Untuk mengantisipasi adanya dampak negatif, pada saat pembukaan lahan atau setelah adanya pembukaan lahan, perlu adanya pengawasan khusus serta pengarahan terhadap penggunaan lahan tersebut.
Pada tahun pertama penempatan, kebutuhan Saprotan (sarana produksi pertanian) yang dianjurkan di subsidi oleh pemerintah. Hal ini dimakudkan agar masukan pertanian yang dianjurkan diharapkan dapat meningkatkan semangat dan gairah para petani untuk mengelola lahannya secara optimal


DAFTAR PUSTAKA

Operasional Unit Pemukiman Transmigrasi, Dirjen PSKT, 2002.


Linsley et al., 1977. Hidrology Foor Engineer, Jakarta

Permana, Tuti., 1980. Perencanaan Teknis Satuan Pemukiman Transmigrasi. Departemen PU Bekerjasama dengan ITB Bandung,

Tracey, J. White. 1977. Transmigrasi Planning Manual Volume. II Phiysical Planning, UNPAD/FAO Project INS/72/005 Planning and Development of Transmigration Schemess, Jakarta.

Schmidt. F.H Fergusson, 1976. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ration for Indonesia with Western New Guines. Verhendelingen 42, Jawatan Meterorologi dan geofisika, Jakarta,

Troyer, H., 1976. Weather Classification and Plant Weather Relationship. SRI/FAO. Working Paper No. 11 Bogor,

Desaunettes, I.R., 1977. Catalogue of Kind Form for Indonesia, Working Paper, No.13, FAO, AGL. TF/INS/44.

………..1977., Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija dan Sayuran, Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian Indonesia, Jakarta.
Read more

Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang

Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang

Oleh : Kasubdit Peran Masyarakat Direktorat Penataan Ruang Nasional

(Disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Rencana Tata Ruang Propinsi se - Sumbagsel, di Palembang 30 September 2002)

I. LATAR BELAKANG

Penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang bertempat tinggal di ruang yang nyaman dan lestari. Melalui penatan ruang pada akhirnya hak seseorang (property right) dapat terlindungi tanpa menghambat inovasi dan kreatifitasnya. Oleh sebab itu, penerapan prinsip-prinsip penataan ruang dalam pembangunan perkotaan sangat relevan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang sistematis dan terintegrasi.

Upaya penataan ruang dalam mendukung pembangunan kota akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.

Apabila dicermati secara seksama, maka fenomena pelibatan masyarakat akan mendapat sambutan sangat positif dari seluruh stakeholder, khususnya masyarakat, apabila mereka merasa mendapat nilai tambah "yang terlihat nyata secara ekonomis". Keterlibatannya pun tanpa didorong dan dipaksa oleh siapapun.

Konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam Penataan Ruang sejalan dengan TAP MPR IV/MPR/2000 tentang rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pasal 12 UU 24/92 dan PP 69/96 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholder utama pembangunan.

A. Urgensi Penataan Ruang dalam Rangka Pengembangan Wilayah

Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi pada masa lalu membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi, partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan muncul komitmen untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.

Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas. Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI).

Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif. Berdasarkan hal tersebut, penataan ruang merupakan alat keterpaduan pembangunan lintas sektor dan wilayah. Diharapkan dengan adanya penataan ruang, pengembangan wilayah dapat direkayasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Koreksi terhadap kegagalan pasar yang disebabkan pasar tidak dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dapat dilakukan akibat adanya upaya rekayasa yang dilaksanakan. Secara skematis, konsepsi penataan ruang dalam pengembangan wilayah dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:








T





Text Box: SAAT INI


Mengingat hal tersebut, sangat mungkin bahwa penataan ruang masa lampau akan tidak sesuai dengan penataan ruang masa kini. Dengan demikian, penataan ruang harus lebih dilihat sebagai proses dan bukan merupakan akhir dari suatu usaha mewujudkan masa depan yang ideal karena kata ideal akan berbeda-beda dari satu masa ke masa yang akan datang. Dengan adanya proses pelibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang akan muncul suatu sistem evaluasi dari kegiatan penataan ruang yang telah dilakukan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang yang telah dilakukan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang selanjutnya.

Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat (city as engine of economic growth) yang berkeadilan sosial (social justice) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound).

B. Isu-isu Stratejik Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang

Beberapa isu stratejik yang patut diperhatikan dalam kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam penataan ruang adalah:

a. Kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.

b. Kurang terbukanya para pelaku pembangunan dalam menyelenggarakan proses penataan ruang yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.

c. Masih rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.

d. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest) akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama.

e. Kurang optimalnya kemitraan atau sinergi antara swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.

f. Persoalan yang dihadapi dalam hal perencanaan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman pembangunan yang telah terjadi, rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang telah mengakibatkan dampak negatif sebagai berikut:

· Rendahnya rasa memiliki dari masyarakat atas program/proyek pembangunan kota yang disusun. Akibatnya telah mengakibatkan keberlanjutan (sustainability) dari program/proyek yang dilaksanakan tidak terwujud.

· Program/proyek pembangunan kota yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakatnya.

· Munculnya biaya transaksi (transaction cost) yang sangat mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dari program/proyek pembangunan sehingga seringkali muncul penolakan atas program/proyek yang dilaksanakan.

II. PENGERTIAN-PENGERTIAN

1

Pemberdayaan

:

Kata pemberdayaan mngesankan arti tangguh atau kuat. Menurut Rappaport (1985), praktek yang berbasiskan pemberdayaan adalah bahasa pertolongan yang diungkapkan dalam simbol-simbol yang mengkomunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-hal yang terkandung dalam diri kita dan masyarakat di sekitar kita.

2

Pemberdayaan Masyarakat

:

Upaya dalam menguatkan dan memampukan masyarakat dalam rangka memandirikan dan menempatkan/mendudukan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan (masyarakat sebagai perencana, pelaksana, sekaligus sebagai pemilik dan pengendali program pembangunan). Dalam pemberdayaan masyarakat yang penting adalah bagaimana mendudukan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif dan bukan yang pasif.

3

Masyarakat

:

Secara umum merupakan bagian dari penduduk diluar pemerintah dan diluar kelompok pengusaha swasta.

4

Komunitas

:

Kelompok individu/masyarakat yang hidup dan saling berinteraksi dalam daerah atau satuan wilayah tertentu.

5

Partisipasi

:

Atau biasa dikenal juga dengan istilah peranserta, adalah berkenaan dengan keikutsertaan dalam satu atau beberapa bagian dari suatu siklus proses kegiatan/pembangunan.

6

Peranserta Masyarakat

:

Berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

7

Pelibatan Masyarakat

:

involvment (interfensi pemerintah untuk mendorong masyarakat agar terlibat dalam kegiatan penataan ruang lebih terlihat)

8

Tata Ruang

:

Wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.

9

Rencana Tata Ruang

:

Hasil perencanaan tata ruang

10

Penataan Ruang

:

Proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang kota.

11

Pemanfaatan Ruang

:

Rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang.

12

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

:

Kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang: pengawasan diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi: penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sangsi

III. PERATURAN DAN KEBIJAKAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

A. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Bila dicermati lebih dalam, UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang pasal 12 disebutkan bahwa “penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa penataan ruang tidak akan dapat diimplementasikan jika tidak melibatkan masyarakat dalam semua prosesnya. Pada kenyataannya, praktek-praktek penataan ruang masa lalu yang hanya melibatkan elit-elit politik atau representatif (biasanya DPR/DPRD) dan menafikan pelibatan masyarakat, terbukti telah mengakibatkan penataan ruang tidak diikuti oleh semua pihak. Sering kali rencana tata ruang sebagai produk perencanaan ruang dan bagian dari proses penataan ruang hanya menjadi koleksi perpustakaan atau lemari instansi pemerintah.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa pelibatan masyarakat dalam penataan ruang merupakan suatu keharusan dan menjadi prinsip dasar yang harus diterapkan dalam pelaksanaan penataan ruang.

B. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996 tentang Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Peraturan Pemerintah No. 69/ 1996 sebagai turunan dari Undang-undang No. 24/ 1992 tentang Penataan ruang secara jelas menjamin adanya pelibatan masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini ditujukkan dalam pasal demi pasal yang terkandung dan secara garis besar menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat

a. Dalam kegiatan penataan ruang, masyarakat berhak:

- Berperan serta dalam proses penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

- Mengetahui secara terbuka proses penataan ruang;

- Menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;

- Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

b. Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat wajib untuk:

- Berperanserta dalam memelihara kualitas ruang;

- Berlaku tertib dalam keikutsertaannnya dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

2. Pemerintah berkewajiban untuk mensosialisasikan seluruh proses penataan ruang baik pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota, bagian kota, dan kawasan tertentu dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan saran untuk perbaikan proses penataan ruang.

3. Bentuk dan tatacara peranserta masyarakat dalam penataan ruang baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pemanfaatan dilakukan sesuai tingkatan wilayah (nasional, propinsi, kabupaten/kota).

4. Secara kelembagaan, pemerintah diwajibkan untuk terus meningkatkan pelibatan masyarakat sehingga masyarakat menjadi paham tentang hak dan kewajibannya dalam penataan ruang.

Berdasarkan muatan-muatan Peraturan Pemerintah ini, sangat jelas bahwa seluruh pelaku pembangunan termasuk masyarakat didalamnya dijamin hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam penataan ruang. Masyarakat dapat dengan inisiatifnya sendiri berperan serta dan memberikan masukan terhadap proses penataan ruang yang terjadi dan terhadap rencana ruang dimasa yang akan datang.

C. Peraturan Mendagri Nomor 9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996, maka perlu ditetapkan Permendagri tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Hal-hak yang terkandung didalam Permendagri tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan dan penetapan rencana tata ruang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan peranserta masyarakat.

2. Peranserta masyarakat dapat dilakukan oleh orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hokum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah dibantu Bappeda tingkat I/II dan TKPRD tingkat I/II berperan dalam menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan yang disampaikan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang.

4. Tata cara peranserta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang di Daerah meliputi tahap: persiapan, penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan perencanaan tata ruang, dan penetapan rencana tata ruang.

5. Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran, memberdayakan dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang.

D. Draft Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang.

Dalam rangka mengoperasionalisasi pelibatan masyarakat dalam penataan ruang, pemerintah melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mencoba untuk menyusun Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang. Pedoman ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dan sebagai hub dari pedoman-pedoman yang ada.

Dalam proses penyusunannya, pedoman ini dilakukan dengan melakukan serangkaian diskusi dengan pihak-pihak terkait dalam penataan ruang seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga profesional, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perguruan Tinggi, Kelompok Masyarakat, dan instansi pemerintah sendiri baik ditingkat pusat maupun daerah.

Adapun muatan-muatan yang terkandung didalam Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang secara garis besar mencakup :

1. Pengertian Peranserta dan Pelibatan Masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

2. Prinsip Dasar dari Peranserta dan Pelibatan Masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

3. Tujuan dan Ruang Lingkup Pelibatan Masyarakat

4. Peran Masing-masing Stakeholder

5. Mekanisme Dan Prosedur Pemanfaatan Ruang

6. Kelembagaan Dan Pembiayaan

Perlu diakui bahwa proses pelibatan masyarakat dalam penataaan ruang termasuk dalam “teori lama” tetapi “praktek yang baru”. Dengan demikian, pedoman ini masih sangat membutuhkan banyak penyempurnaan dan diskusi yang menyeluruh dengan pelaku pembangunan sehingga pada akhirnya dapat muncul kesepakatan bersama untuk melaksanakannya.

E. Agenda Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang

Perlu diakui bahwa upaya pelibatan masyarakat dalam penataan ruang guna mendukung pembangunan kota, pembangunan perdesaan dan pembangunan kawasan-kawasan tertentu masih harus terus diperjuangkan. Meskipun demikian, hal yang paling penting adalah adanya semangat untuk terus berusaha dan berpikir positif dalam mewujudkan pelibatan masyarakat dalam penataan ruang.

Berdasarkan tuntutan masyarakat dan peraturan perundang-undang yang berlaku dan terkait dengan pelibatan masyarakat dalam penataan ruang, agenda pelibatan masyarakat dalam penataan ruang dimasa yang akan datang adalah:

1. Menyusun pedoman (norma, standar, pedoman, manual, kriteria) tentang pelibatan masyarakat dalam penataan ruang yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

2. Kampanye penyadaran masyarakat (public awarness).

3. Public services (konsultasi publik, menerima pengaduan, dan sebagainya).

4. Public campain, untuk mendorong masyarakat untuk peduli akan proses dan hasil serta implementasi penataan ruang.

5. Mengembangkan sistem informasi penataan ruang yang melibatan masyarakat sehingga tercipta transparansi dan akuntabiliti dari proses penataan ruang yang dilaksanakan dan akan dilaksanakan dimasa yang akan datang dalam rangka mewujudkan good governance.

6. Mengembangkan jaringan kemitraan dan mendorong perkuatan kelembagaan melalui forum diskusi, dialog, dan tukar pikiran dengan pelaku pembangunan seperti LSM, Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, dan kelompok masyarakat lainnya.

7. Meningkatkan sosialisasi proses perencanaan, pemanfaatan beserta produk-produk penataan ruang kepada masyarakat sehingga kebijakan yang disusun dapat transparan dan akuntabel serta mampu terus meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang.

IV. PARADIGMA BARU PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

Dalam rangka menerapkan penataan ruang untuk pada akhirnya mewujudkan pengembangan wilayah seperti yang diharapkan, maka terdapat paradigma yang harus dikembangkan sebagai berikut:

· Otonomi Daerah (UU No.22/1999) tentang Pemerintahan Daerah, mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembangunan. Paradigma ini akan memperpendek jarak dan birokrasi dalam pengambilan keputusan. Kondisi tersebut sekaligus akan mendorong dan memberi porsi yang lebih besar pada keterlibatan masyarakat.

· Pembangunan wilayah tidak terlepas dari pembangunan dunia (globalisasi), investor akan menanamkan modalnya di daerah yang memiliki kondisi politik yang stabil dan didukung sumberdaya yang memadai;

· Mendorong kemitraan atau peran masyarakat dengan pelaku lainnya;

· Pemberdayaan Masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam era yang serba transparan sekarang ini.

· Good Governance

Iklim dan kinerja yang baik dalam pembangunan perlu dijalankan. Karakteristiknya adalah partisipasi masyarakat, transparasi, responsif dan akuntabilitas.

A. Tuntutan Masyarakat Terhadap Penataan Ruang

Seiring dengan demokratisasi yang menjadi tuntutan bersama masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang madani (civil society), maka hal ini pun tidak luput berimbas terhadap proses penataan ruang. Berdasarkah hal tersebut, prinsip-prinsip penataan ruang yang pada umumnya dituntut masyarakat mencakup:

a) Masyarakat harus dijadikan ujung tombak dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi (growth) nasional.

b) Perlu adanya upaya penguatan dan fasilitasi peran masyarakat aga mampu menciptakan daya saing ekonomi baik internal maupun eksternal dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan.

c) menciptakan sumber daya manusia yang ulet, pandai, tangguh, dan berdaya tahan tinggi.

d) Tercipta transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penataan ruang.

e) Penataan ruang (khususnya pemanfaatan ruang) harus responsif dengan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, guna mewujudkan peran masyarakat yang seutuhnya, proses pelibatan masyarakat tidak boleh berhenti sampai pada tahap tokenism yaitu hanya bersifat konsultasi dan sosialisasi, akan tetapi harus terlihat jelas bahwa aspirasi masyarakat terefleksi dalam setiap proses penataan ruang. Oleh sebab itu, saluran-saluran aspirasi masyarakat harus diformulasikan secara jelas, sehingga apabila terjadi penyimpangan dilapangan dari proses penataan ruang, masyarakat dapat melakukan pengawasan dan berpartisipasi aktif.

B. Reposisi Penataan Ruang

Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi pada masa lalu membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi, partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, terdapat rasa memiliki masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan dan muncul komitmen untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.

Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas.

Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI). Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif.

Rencana tata ruang ini tidak hanya memberikan arahan program pembangunan untuk kepentingan pengembangan daerahnya tetapi sekaligus membantu mensinerjikan potensi antar wilayah dan mengoptimalkan kontribusi pada ekonomi nasional dan tugas-tugas lainnya yang memang menjadi “national concern”.

Memperhatikan hal-hal tersebut serta prioritas-prioritas pembangunan nasional dan dalam upaya mencari dan memantapkan peran baru penataan ruang, serta mendorong percepatan pelaksanaan otonomi daerah, maka Penataan Ruang disusun untuk mendorong sinergi antara berbagai prioritas pembangunan daerah dengan dukungan prasarana dan sarana wilayah serta memperhatikan berbagai upaya penanganan permasalahan strategis nasional, termasuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah melalui pendekatan pengembangan wilayah holistik.

Dalam penerapannya, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:

a) Partisipatif, yaitu melibatkan stakeholder mulai dari penyiapan kerangka acuan, perencanaan tata ruang, sampai dengan pelaksanaan hingga pengendalian.

b) Menciptakan hubungan pusat dan daerah dengan baik dalam proses penataan ruang.

c) Dalam penyusunan penataan ruang perlu memperhatikan keberpihakannya kepada usaha kecil menengah, yang telah terbukti memberikan kontribusi kepada pendapatan nasional secara signifikan.

d) Perlu mengoptimalkan keterpaduan darat dan laut dalam satu sistem penataan ruang.

e) Perlunya memiliki kebijakan dan strategi yang konkrit, seperti keterpaduan program semua sektor, mengedepankan peran masyarakat, memperhatikan keunggulan lokal, akomodatif terhadap berbagai masukan, pembangunann yang konsisten dengan tata ruangnya, penegakan hukum yang konsisten, dan kerja sama antar wilayah.

V. PRINSIP, TUJUAN, DAN KENDALA PELIBATAN MASYARAKAT

A. Prinsip Pelibatan Masyarakat

Dalam kaitan dengan upaya untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang guna mendukung pembangunan kota, maka beberapa prinsip dasar pelibatan masyarakat dalam penataan ruang adalah sebagai berikut:

1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;

2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;

3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;

4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;

5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesional.

Prinsip-prinsip dasar tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak difahaminya.

B. Tujuan Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang

Sebagai pihak yang paling terkena akibat dari pemanfaatan ruang, masyarakat harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak dipahaminya. Untuk itu perlu suatu upaya guna menempatkan masyarakat pada porsi yang seharusnya. Apabila dikaitkan dengan Good Governance, maka upaya membangun semangat peranserta masyarakat dalam penataan ruang bertujuan untuk:

1. Menumbuhkembangkan semangat akuntabilitas atau kesadaran atas hak dan kewajiban masyarakat dan stakeholder lainnya dalam memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

2. Meningkatkan kesadaran kepada pelaku pembangunan bahwa masyarakat bukanlah obyek pemanfaatan ruang, tetapi justru merekalah pelaku dan pemanfaat utama yang seharusnya terlibat dari proses awal sampai akhir dalam memanfaatkan ruang.

3. Mendorong masyarakat dan civil society organization atau lembaga swadaya masyarakat untuk lebih berperan dan terlibat dalam memanfaatkan ruang.

C. Kendala Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang

Beberapa hal pokok yang merupakan kendala utama dalam penataan ruang adalah:

a. Rendahnya pendidikan, pemahaman, kesadaran implementatif, konsistensi, dan komitmen di kalangan masyarakat akan peran yang seharusnya dapat dilakukan.

b. Kebijakan Pemerintah yang belum sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat dan belum tingginya kesungguhan Pemerintah dalam mendukung dan mengalokasikan resources dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.

c. Kurang terbukanya para pelaku pembangunan (masih adanya gap feeling) dalam menyelenggarakan proses penataan ruang yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.

d. Masih rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.

e. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut karena mereka menginginkan setiap keputusan yang diambil melibatkan mereka.

f. Masih sedikitnya produk pengaturan yang mengacu paradigma yang menempatkan komunitas sebagai subyek atau pelaku pembangunan.

Berdasar kendala-kendala yang terdapat diatas, upaya keras untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang sesungguhnya harus terus diupayakan. Upaya-upaya tersebut tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh pemerintah. Mengingat hal tersebut, kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (ornop), tokoh masyarakat, dewan perwakilan rakyat, dan pihak-pihak terkait lainnya harus terus diupayakan.

VI. UPAYA PENINGKATAN PELIBATAN MASYARAKAT

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam mendorong masyarakat agar dapat ikut terlibat dalam proses penataan ruang antara lain melalui pertemuan dengan warga, maupun berbagai kegiatan yang melibatkan forum–forum warga, Lembaga Swadaya Masyarakat, swasta, DPR/DPRD dan pelaku pembangunan lainnya (organisasi non Pemerintah). Pelibatan masyarakat sejak dari perencanaan tata ruang merupakan keinginan dari Pemerintah mengingat bahwa bentuk rencana tata ruang yang aspiratif atau memenuhi aspirasi masyarakat sehingga rencana tersebut diakui dan dimiliki oleh masyarakat.

Selain itu Departemen Kimpraswil juga terus mendorong bertumbuh kembangnya upaya yang dilakukan oleh UKMK, dan juga melakukan berbagai upaya-upaya seperti mendorong pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat (P2BPM) melalui program tribina (bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan), penataan lingkungan permukiman kumuh baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Dorongan tersebut juga dilakukan melalui paket program yang mencakup hal-hal sebagai berikut :

a) komponen pemberdayaan sosial kemasyarakatan;

b) peningkatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan;

c) pendayagunaan prasarana dan sarana;

d) bantuan bergulir bersifat stimulatif untuk memugar rumah yang tidak/kurang layak huni;

e) pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi.

Sebagai gambaran dari sebagian potret daan upaya terlibatnya masyarakat dalam proses penyelenggaraan Penataan Ruang beberapa profil singkat dari berbagai stakeholder dapat digambarkan sebagai berikut:

- IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiative), misalnya mencoba melakukan proses riset aksi di tiga kota sebagai upaya membangun body of collective knowledge tentang partisipasi dan governance.

- BUILD (Breakthrough Urban Initiatives for Local Development), suatu program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan UNDP/UNCHS yang bertujuan untuk meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam kerjasama dengan swasta dan masyarakat, khususnya fasilitasi stakeholders dalam pengelolaan pembangunan perkotaan.

Program ini lebih ditekankan pada penciptaan good urban management dan good urban governance untuk kota kecil dan kota sedang, sehingga terbentuk suasana yang mengarah pada proses reinventing local goverments dan terbangun komitmen partisipasi masyarakat serta proses yang transparan. Untuk mencapai tujuan ini, ada 3 strategi yang ditempuh oleh BUILD yaitu:

1. Memperkenalkan reformasi dan membangun praktek-praktek partisipasi masyarakat dalam manajemen perkotaan;

2. Mendokumentasikan hasil-hasil tersebut untuk didesiminasikan ke kota lain;

3. Memanaj perubahan dengan mengkoordinasikan dan memonitor kinerjanya.

- URDI (Urban and Regional Development Institute), melalui program Local Government Best Practise mencoba mengidentifikasi berbagai inovasi yang telah dikembangkan dan diimplementasikan Pemerintah Daerah. Hasil identifikasinya tentunya akan disebarluaskan dan diharapkan dapat menjadi katalis sekaligus “energizer” gerakan mewujudkan good government.

- CSO’s (Civil Society Organisation), mengakatalis proses kesadaran menuju good governance di Indonesia, dengan:

- Peningkatan Kesadaran

- Advokasi Kebijakan

- Pengembangan Institusi

- Pengembangan Kapitalis

- PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) juga concern terhadap proses pemberdayaan masyarakat, yang antara lain melalui program hibah yang diberikan kepada pemerintah, NGO’s, CBO’s dan Universitas seperti:

Technical Assitance for Parliamentary and Public Participation. Wujudnya adalah mendukung dan melengkapi DPR dengan media center dan juga Poverty Allevation Throurgh Rural-Urban (PARUL).

- United States Agency for International Development (USAID) telah mendorong penyusunan Pedoman Penyusunan Program Dasar Pembangunan Perkotaan (PDPP) untuk merespon pelaksanaan otonomi daerah beserta pelatihannya dan juga mendorong terbentuknya asosiasi propinsi dan asosiasi walikota.

- Departement for International Development (DFIF) concern pula dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program hibah dan asistensi bagi pemerintah dan civil society dalam kerangka pengurangan kemiskinan dengan memberikan bantuan untuk upaya proses konsultasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.

- Gesellschaft fur Technische Zusammenarbiet (GTZ), concern dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program technical cooperation seperti: Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi. Selain itu juga memberikan small grant kepada LSM untuk gagasan yang dianggap inovatif dalam mendorong partisipasi dan good governance.

- Bank Dunia, melalui program pinjaman, hibah dan investasi yang diberikan kepada pemerintah maupun masyarakat sipil, yaitu:

- Learning and Innovation Loan (LIL)

- Urban Poverty Project

- Kecamatan Development Program (KDP)

- Kabupaten Governance Reform Initiatives Program

- ADB (Asian Development Bank) melalui program pinjaman dan technical assistence yang diberikan kepada pemerintah dan masyarakat sipil untuk memperbaiki kualitas governance.

VII. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM SETIAP TAHAPAN PERENCANAAN TATA RUANG

Pemanfaatan ruang bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pemanfaatan ruang oleh masyarakat dapat dilakukan secara orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum. Komponen-komponen tersebut adalah stakeholder dalam pemanfaatan ruang.

Secara kategoris, stakeholder pemanfaatan ruang dapat dikelompokkan menjadi:

(1) Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan, terdiri dari:

  1. Eksekutif, seperti Bappenas, DepKimpraswil, Depdagri, BPN, Bappeda, Sekretariat Daerah dan Kepala Daerah serta Instansi sektoral Pusat dan Daerah seperti Dinas/Kantor terkait yang mempunyai fungsi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Pertambangan, Kelautan, Perhubungan, Lingkungan Hidup/Bappedal, Kepariwisataan;
  2. Legislatif, seperti DPR dan DPRD I dan DPRD II;
  3. Yudikatif.

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kewenangan dalam mengambil atau membuat kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Menyusun produk hukum dan aturan main (seperti norma, standar, pedoman, petunjuk dan kriteria) yang berkaitan dengan peran dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan ruang;

b. Merevisi kebijakan yang ada baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas;

c. Melakukan review atau penilaian atas kemampuan seluruh pejabat publik terkait pemanfaatan ruang untuk ditindak lanjuti dengan peningkatan kemampuan atau pun penempatan kembali pada posisi yang sesuai (fit and proper);

d. Memberikan komitmen politik, khususnya bagi legislatif dan eksekutif, dalam membuat kebijakan pemanfaatan ruang dengan berpihak pada kesejahteraan masyarakat;

e. Melakukan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia yang ada, baik profesional, birokrat maupun warga masyarakat agar lebih mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang dengan baik dan benar;

f. Mengembangkan komunikasi antar stakeholder melalui berbagai media yang sudah dikuasai maupun yang belum dikuasai oleh warga masyarakat;

g. Mendorong bantuan ke sasaran yang lebih tepat, yaitu masyarakat setempat seperti misalnya mendorong block grand dari kecamatan ke desa ;

h. Melakukan kajian beaya sosial budaya dan ekonomi dalam pemanfaatan ruang untuk diinformasikan kepada stakeholder;

i. Melakukan pengembangan awarness tentang penataan ruang melalui berbagai upaya, seperti penyederhanaan fungsi kawasan agar bisa difahami dan dimengerti warga atau forum warga, mengembangkan serta legalisasi forum warga.

(2) Stakeholder yang terkena dampak dari kebijakan, terdiri dari:

  1. Kelompok Warga Setempat;
  2. Warga sesuai dengan kelompok kegiatannya, seperti kelompok Nelayan, Buruh Tani, Pemakai Air, Forum Agama dan sebagainya.

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang terkena dampak kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Mendorong pengembangan forum warga;

b. Berupaya mendapatkan manfaat lebih besar dari pemanfaatan ruang yang mencakup wilayahnya;

c. Berupaya meminimalisasi konflik pemanfaatan ruang dengan berorientasi keuntungan dan kesejahteraan masyarakat.

(3) Stakeholder yang mengawasi kebijakan, terdiri dari:

  1. DPR;
  2. DPRD I dan DPRD II;
  3. LSM;
  4. Pers/Media massa;
  5. Forum Warga;
  6. Partai Politik;
  7. Asosiasi Profesi; dan
  8. Perguruan Tinggi.

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mengawasi kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan pengawasan secara benar atas proses dan produk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh stakeholder;

b. Menghidupkan fungsi pengawasan dan guardian angel dalam pemanfaatan ruang;

c. Melembagakan mekanisme pengawasan publik yang transparan dan akuntabel;

d. Melakukan kajian-kajian untuk meningkatkan fungsi pengawasan yang bermoral.

(4) Stakeholder kelompok Interest dan Presure Group yang terkait kebijakan, terdiri dari:

  1. Partai Politik;
  2. LSM;
  3. Pengusaha;
  4. Forum Warga;
  5. Asosiasi Profesi;
  6. Perguruan Tinggi; dan
  7. Kelompok Mediasi.

Peran yang dilakukan oleh stakeholder kelompok interset dan presure group dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan berbagai upaya penyadaran berbagai stakeholder atas hakekat pemanfaatan ruang yang baik dan benar yaitu lestari dan berkesinambungan;

b. Melakukan kampanye tentang transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemanfaatan ruang;

c. Melakukan sosialisasi dan mediasi dari proses dan produk pemanfaatan ruang;

d. Melakukan upaya-upaya yang menguntungkan dalam pemanfaatan ruang, seperti melalui pilot project atau kegiatan sejenis.

(5) Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan atau kebijakannya berjalan, terdiri dari:

  1. Presure group, seperti Partai Politik, LSM, dan Forum Warga;
  2. Kelompok Pendukung, seperti Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi, Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kelompok Mediasi.

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/ kebijakan berjalan dengan baik dan lancar dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan upaya pelembagaan proses partisipasi atau pelibatan masyarakat;

b. Melakukan sosialisasi peran serta atau pelibatan masyarakat;

c. Membangun saluran-saluran dan simpul-simpul partisipasi;

d. Menggali dan mempertimbangkan nilai-nilai dan kearifan lokal;

e. Mendesiminasikan best practices;

f. Memantapkan metode dan sistem informasi pemanfaatan ruang;

g. Menterpadukan kelembagaan dan aparat terkait agar pemanfaatan ruang berjalan baik.

Peran masing-masing stakeholder tersebut berlaku untuk berbagai tingkatan hirarki seperti Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, akan tetapi bentuk dan tatacara kegiatannya bisa saja berbeda. Peran tersebut dapat dilakukan oleh stakeholder baik secara sendiri maupun berkelompok atau bersinergi sesuai dengan networking yang dimilikinya.

A. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Propinsi

Dalam proses penyusunan RTRW Propinsi, peran serta masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses dimulai dari tahap persiapan sampai pada tahap pengesahan. Untuk itu, Pemerintah Propinsi harus selalu mengundang representasi masyarakat (misal: anggota DPRD, LSM, Forum Kota, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ikatan profesi) untuk ikut terlibat dalam setiap tahapan penyusunan RTRW Propinsi.

Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW Propinsi dapat berupa:

a. Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan;

b. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan;

c. Pemberian masukan dalam perumusan RTRW Propinsi;

d. Pemberian informasi atau pendapat dalam pernyusunan strategi penataan ruang;

e. Pengajuan keberatan atau sanggahan terhadap rancangan RTRW Propinsi;

f. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;

g. Bantuan tenaga ahli.

Wujud peranserta masyarakat dalam persiapan penyusunan dimulai dengan mengetahui penyusunan RTRW Propinsi melalui pengumuman. Pengumuman tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Propinsi, dan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan forum pertemuan.

Peran serta masyarakat dalam tahap penyusunan rencana dapat dilakukan pada langkah-langkah penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan rencana, hingga penetapan rencana (melalui DPRD Propinsi). Peran serta tersebut berbentuk pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan serta pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindak lanjut dari masukan tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Propinsi yang dapat diwujudkan melalui pembahasan yang dilakukan dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat bersama Pemerintah Propinsi. Instansi yang berwenang selanjutnya menyempurnakan Rancangan RTRW Propinsi dengan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat dan hasil pembahasan dalam forum pertemuan.

B. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Kabupaten

Dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten, peran serta masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses dimulai dari tahap persiapan sampai pada tahap pengesahan. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten harus selalu mengundang masyarakat untuk ikut terlibat dalam setiap tahapan penyusunan RTRW Kabupaten.

Bentuk-bentuk peranserta masyarakat dalam penyusunan RTRW Kab. dapat berupa:

a. Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan;

b. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan;

c. Pemberian masukan dalam perumusan RTRW Kabupaten;

d. Pemberian informasi atau pendapat dalam pernyusunan strategi penataan ruang;

e. Pengajuan keberatan atau sanggahan terhadap rancangan RTRW Kabupaten;

f. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;

g. Bantuan tenaga ahli.

Wujud peran serta masyarakat dalam persiapan penyusunan dimulai dengan mengetahui penyusunan RTRW Kabupaten melalui pengumuman. Pengumuman tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Kabupaten, dan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan forum pertemuan.

Peran serta masyarakat dalam tahap penyusunan rencana dapat dilakukan pada langkah-langkah penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan rencana, hingga penetapan rencana (melalui DPRD Kabupaten). Peran serta tersebut berbentuk pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan serta pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindak lanjut dari masukan tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Kabupaten yang dapat diwujudkan melalui pembahasan yang dilakukan dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat bersama Pemerintah Kabupaten. Instansi yang berwenang selanjutnya menyempurnakan Rancangan RTRW Kabupaten dengan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat dan hasil pembahasan dalam forum pertemuan.

C. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota

Dalam rangka mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan perkotaan, terutama untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat perkotaan, hak dan kewajiban masyarakat kota harus tercermin dalam proses perencanaan. Dengan demikian, produk rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan hasil kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders), termasuk masyarakat.

Peranserta masyarakat dalam penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan menganut asas-asas demokratis, kesetaraan gender, dan keterbukaan. Pendekatan ini merupakan dasar bagi pendekatan “community driven planning” yang menjadikan masyarakat sebagai penentu dan pemerintah sebagai fasilitatornya. Sejalan dengan proses penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan yang iteratif, maka keterlibatan masyarakat ada pada setiap proses tersebut dan selalu tanggap dan mengikuti setiap dinamika dan perkembangan di dalam masyarakat.

Peranserta masyarakat dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk pengajuan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah. Dalam mengajukan usul, memberikan saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang Kawasan Perkotaan dapat dilakukan melalui pembentukan forum kota, asosiasi profesi, media massa, LSM, lembaga formal kemasyarakatan (sampai tingkat lembaga perwakilan rakyat).

VIII. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM SETIAP TAHAPAN PEMANFAATAN RUANG

Pemanfaatan ruang merupakan satu tahapan untuk mengimplementasikan rencana tata ruang dengan mengerahkan sumber daya yang ada guna mencapai tujuannya. Langkah-langkah pemanfaatan ruang diidentifikasi sebagai berikut:

(1). Adjustment/Penyesuaian;

(2). Penyusunan program pemanfaatan;

(3). Penyusunan pembiayaan program;

(4). Pengurusan proses perijinan;

(5). Pelaksanaan pembangunan.

(1). Adjustment/Penyesuaian

Dalam proses adjustment dari rencana tata ruang wilayah Nasional, tata ruang wilayah Propinsi, tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, stakeholder yang berwenang membuat/mengambil kebijakan, khususnya dari lembaga eksekutif yang terdiri dari Menteri terkait, Gubernur, Bupati/Walikota wajib mensosialisasikan dan mengadaptasikan kepada stakeholder yang akan terkena dampak langsung atas pelaksanaan pembangunan. Dalam hal adjustment Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan atau Rencana Teknik Ruang (RTR), sosialisasi dan adaptasi kepada masyarakat pada wilayah peruntukan sebagaimana dilakukan melalui instansi yang berwenang.

Ketiga stakeholder lainnya melakukan pengawasan, dorongan, mediasi, dan penciptaan iklim yang kondusif agar proses adjustment berjalan lancar, transparan dan akuntabel. Inisiatif dari adjutment bisa dimulai dari Eksekutif mapun stakeholder yang terkena dampak atau stakeholder lain yang telah mengetahuinya dengan mengajukan permintaan kepada institusi yang berwenang.

Sosialisasi rencana tata ruang sebagaimana disebut diatas dilaksanakan paling tidak selama 7 (tujuh) hari berturut-turut melalui media cetak yang terbit dan atau beredar pada wilayah setempat, media elektronik yang berada dan atau siaran/penayangan mencakup wilayah yang bersangkutan, serta dimungkinkan melalui forum-forum pertemuan antar stakeholder. Proses adaptasi dilaksanakan dengan waktu sesuai kebutuhan, paling tidak 14 (empat belas) hari sebelum penyusunan program pemanfaatan. Forum pertemuan tersebut diadakan sampai pada tingkat:

(a) Propinsi untuk sosialisasi dan adaptasi RTRWN;

(b) Kabupaten/Kota untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Propinsi ;

(c) Kecamatan untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Kabupaten/Kota;

(d) Desa/kelurahan untuk sosialisasi dan adaptasi RDTR Kawasan;

(e) Rukun Warga dan Rukun Tetangga untuk sosialisasi dan adaptasi Rencana Teknik Ruang.

(2). Penyusunan Program Pemanfaatan

Penyusunan program dan kegiatan pemanfaatan ruang dikelompokkan menjadi penentuan program dan kegiatan serta penentuan tahapan waktu pencapaian kegiatan.

a. Penentuan Program dan Kegiatan

Penentuan program dan kegiatan disusun untuk mendorong implementasi rencana tata ruang dengan pola pemberian insentif dan disinsentif atas pemanfaatan ruangnya. Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri/Gubernur /Bupati/Walikota.

Kebijakan insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, yang dilaksanakan antara lain melalui penetapan kebijakan di bidang ekonomi, sosial, fisik, dan pelayanan umum. Sedangkan kebijakan disinsentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang dilaksanakan antara lain melalui penolakan pemberian perizinan pembangunan, pembatasan pengadaan sarana dan prasarana.

Kebijakan Nasional atas kawasan yang perlu diberi insentif dan disinsentif ditetapkan oleh Menteri, sedangkan kebijakan umum kriteria kawasan ditetapkan oleh Gubernur dengan mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Sementara itu kebijakan teknis kawasan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada kebijakan umum yang ditetapkan oleh Gubernur. Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi dan menghapuskan hak-hak penduduk sebagai warga negara dan tetap menghormati hak-hak masyarakat yang melekat pada ruang. Selain itu program dan kegiatan tersebut disusun dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari semua stakeholder yang dijaring melalui berbagai media yang tersedia.

b. Penentuan Tahapan

Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, RTRW Nasional Propinsi/Kabupaten/Kota dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (jangka menengah) Propinsi/Kabupaten/Kota, dan dijabarkan dalam program tahunan (jangka pendek) pemanfaatan ruang.

Penyusunan program dan kegiatan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya diutamakan kepada kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya guna mendukung pembentukan struktur dan pola pemanfaatan ruang Nasional/Propinsi/ Kabupaten/Kota, yang dialokasikan sesuai dengan tahapan pembangunan. Penyusunan dan pembiayaannya dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan guna tercapainya keselarasan rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana kegiatan pembangunan sektoral, nasional, dan daerah. Pelaksanaan rapat koordinasi antar stakeholder tersebut dilakukan mulai dari tingkatan paling bawah yaitu RT/RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan sampai ke tingkatan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional. Pemanfaatan ruang yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya diselenggarakan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya.

c. Pelaksanaan Penyusunan Program dan Kegiatan

Penjabaran RTRWN/RTRWP/RTRWK ke dalam rencana pembangunan lima tahun Nasional/Propinsi/Kabupaten/Kota dan program tahunan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dilakukan oleh Eksekutif pada level masing-masing, yaitu Nasional oleh Menteri terkait, Propinsi oleh Gubernur yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait, Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai stakeholder. Sementara itu penjabaran RDTR Kawasan atau Rencana Teknik Ruang ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan dan program dan kegiatan tahunan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dilakukan oleh instansi yang berwenang atau badan usaha yang melaksanakan penyusunan Rencana Teknis Ruang tersebut.

Sinkronisasi program rencana kegiatan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya dengan rencana kegiatan sektoral dan daerah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional/Propinsi/Kabupaten/Kota yang melibatkan seluruh stakeholder pada masing-masing tingkatan.

(3). Penyusunan Pembiayaan Program dan Kegiatan

Penyusunan pembiayaan dilakukan oleh stakeholder yang akan melaksanakannya. Dalam hal yang dilaksanakan oleh Pemerintah, maka dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dan berkepentingan sesuai dengan level masing-masing dengan meminta persetujuan dari DPR atau DPRD dan masukan dari masyarakat, swasta, LSM dan stakeholder lainnya.

Komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pembiayaan ini antara lain mencakup perhitungan biaya dan penganggaran, dengan komponen perhitungan yang terdiri dari:

(a) Biaya layanan tenaga ahli utama;

(b) Biaya layanan tenaga ahli pendukung;

(c) Biaya perjalanan;

(d) Biaya bahan;

(e) Biaya pengembangan data dan informasi;

(f) Biaya lain-lain.

Komponen biaya tersebut diatas, tidak termasuk biaya administrasi, publikasi dan pelibatan masyarakat atau forum warga. Penghitungan biaya dan anggaran tersebut berdasarkan pada harga satuan yang berlaku pada wilayah yang bersangkutan. Dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut diatas dapat disesuaikan dengan aturan yang berlaku pada sektor maupun pada pelaku yang menanganinya.

(4). Pengurusan Proses Perizinan

Izin lokasi adalah izin untuk membebaskan tanah di areal yang telah ditetapkan dalam rangka untuk memperoleh tanah tersebut agar hak atas tanah nya dapat diproses. Izin lokasi merupakan sarana untuk mengarahkan dan mengendalikan penggunaan tanah agar sesuai dengan rencana tata ruang pada suatu daerah tertentu. Pemegang izin lokasi tidak mempunyai hak untuk menguasai tanah yang telah ditetapkan pada areal izin lokasi. Karena izin lokasi adalah hanya izin untuk membebaskan tanah bukan untuk menguasai areal yang ditunjuk.

Hak menguasai atau menggunakan tanah pada areal izin lokasi dapat diberikan apabila pemegang izin lokasi telah membebaskan atau telah mengadakan ganti rugi kepada pemilik semula dan telah mempunyai tanda bukti yang syah atau autentik. Izin lokasi ditandatangani oleh Bupati atau Walikota, tetapi data pertanahan sebagai bahan untuk penerbitan SK izin lokasi dipersiapkan oleh Badan/Kantor pertanahan setempat. Sebelum izin lokasi diterbitkan, pemegang izin lokasi harus melaksanakan penjelasan, pemaparan, konsultasi, koordinasi dan pendekatan dengan masyarakat untuk memperoleh dukungan dan partisipasi dari masyarakat.

Pelaporan dan evaluasi dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang pada tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait, pada tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur yang dibantu oleh Bappeda Propinsi, pada tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota yang dibantu oleh Bappeda Kabupaten/Kota.

Pemantauan dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang pada tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait bersama masyarakat, pada tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Dinas Teknis terkait bersama masyarakat, dan pada tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait bersama masyarakat.

Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pemerintah dan Penyidik Publik.

Dalam proses pengurusan perizinan ini masyarakat diberitahu seluruh prosesnya dari awal hingga akhir untuk menghindari penyalahgunaan proses dan kewenangan yang ada.

(5). Pelaksanaan Pembangunan

Pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan tata-urut proses sebagai berikut :

(a) Survey, yang mencakup kegiatan penyelidikan dan pengukuran;

(b) Investigasi, yang merupakan kegiatan pencatatan fakta-fakta atas hasil peninjauan atau penyidikan;

(c) Desain, merupakan kegiatan pembuatan kerangka bentuk atau perancangan;

(d) Konstruksi, merupakan kegiatan pelaksanaan atau pembangunan apa yang ada dalam desain;

(e) Operasional dan pemeliharaan, yang merupakan kegiatan untuk menggunakan atau memfungsikan hasil konstruksi dan pemeliharaan agar berfungsi seoptimal mungkin.

Dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut diatas dapat disesuaikan dengan aturan yang berlaku pada sektor maupun pada pelaku yang menanganinya.

IX. HAL-HAL YANG PERLU DISIAPKAN DALAM PELIBATAN MASYARAKAT

Tiga hal penting yang perlu disiapkan dalam pelibatan masyarakat yaitu penyiapan mekanisme, prosedur, dan penguatan kelembagaannya.

A. Mekanisme Pelibatan Masyarakat

Mekanisme pelibatan masyarakat pada setiap tahapan penataan ruang (perencanaan dan pemanfaatan) telah dibahas dalam sub VII dan VIII.

B. Prosedur Pelibatan Masyarakat

Prosedur pelibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang telah dijelaskan pada sub VII. Prosedur peran masyarakat untuk merealisasikan langkah-langkah pemanfaatan ruang dapat diuraikan sebagai berikut:

(1). Tingkat Nasional

Peran masyarakat pada tingkat nasional dapat berupa pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan yang terkait dengan mekanisme pemanfaatan ruang tersebut diatas. Informasi tersebut disampaikan kepada Menteri terkait selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPR atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Menteri terkait. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia. Masukan yang dipandang perlu dibahas dalam forum pertemuan yang melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merepresentasikan perwakilan stakeholder.

(2). Tingkat Propinsi

Peran masyarakat pada tingkat Propinsi dapat berupa penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan kepada Gubernur selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPRD atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Propinsi. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia.

Informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat tentang indikasi kebijakan maupun yang berkaitan dengan mekanisme pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud diatas yang dianggap signifikan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merupakan representasi stakeholder bersama Gubernur yang dibantu oleh TKPRD Propinsi dan instansi terkait.

(3). Tingkat Kabupaten/Kota

Peran masyarakat pada tingkat Kabupaten/Kota dapat berupa penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan kepada Bupati untuk kawasan perdesaan dan kepada Walikota untuk kawasan perkotaan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPRD atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Kabupaten/Kota. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia.

Informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat tentang penentuan arah pengembangan dan hal lain yang terkait dengan mekanisme pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud diatas, dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merupakan representasi stakeholder bersama Bupati/Walikota yang dibantu oleh TKPRD Kabupaten/Kota dan instansi terkait.

Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, agama maupun adat dan budaya setempat.

Apabila dengan mekanisme dan prosedur tersebut masih terjadi konflik antar stakeholder dalam memanfaatkan ruang, maka diupayakan cara-cara musyawarah oleh stakeholder untuk tujuan akhir kemaslahatan warga yang terkena dampak, tetapi dengan tidak meningggalkan benefit yang lebih luas.

C. Kelembagaan

Pada tingkat Nasional pemanfaatan ruang dikoordinasikan oleh BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional), sedangkan pada tingkat Propinsi dikoordinasikan oleh TKPRD Propinsi (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) dan pada tingkat Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh TKPRD Kabupaten/Kota. Pada tingkat grass root peran tersebut ditangani oleh LSM atau Forum Warga. Menteri terkait yang berada dalam wadah BKRTRN dan Kepala Daerah yang dibantu oleh Bappeda dan TKPRD dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam proses pemanfaatan ruang berperan dalam level dan tanggung jawab masing-masing untuk:

(1) Mengkoordinasikan proses sosialisasi dan adaptasi produk rencana tata ruang kepada warga masyarakat pada daerah peruntukan;

(2) Menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan yang disampaikan oleh masyarakat dalam proses pemanfaatan ruang;

(3) Menindaklanjuti saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan untuk dijadikan pertimbangan dalam proses pemanfaatan ruang;

(4) Meningkatkan komunikasi dengan masyarakat dalam pemanfaatan ruang dengan menegakkan ketentuan yang berlaku.

Untuk peningkatan implementasi hak dan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan ruang, Menteri atau Kepala Daerah bersama warga masyarakat atau stakeholder lain menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran, memberdayakan dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

Pelaksanaan fungsi kelembagaan tersebut disesuaikan dengan peran dari masing-masing stakeholder seperti yang telah disebut diatas.

X. KESIMPULAN

Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang kota menjadi sangat relevan dalam rangka menciptakan kota yang humanopolis yaitu tata ruang yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang asri berdasar wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Berdasarkan pada beberapa hal yang telah kami uraikan diatas, maka perlu disampaikan beberapa hal pokok yang terkait dengan Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang sebagai berikut:

a. Dalam rangka menerapkan penataan ruang guna mewujudkan pengembangan wilayah seperti yang diharapkan, terdapat paradigma baru dari pemerintah dalam penataan ruang yaitu mengedepankan masyarakat sebagai subyek (dan inisiator) pembangunan.

b. Pemerintah melibatkan masyarakat dan swasta dalam penataan ruang melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

- Menempatkan masyarakat dan swasta sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;

- Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;

- Menghormati hak yang dimiliki masyarakat dan swasta serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;

- Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;

- Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesionalisme.

c. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk semakin peduli terhadap penataan ruang dilakukan melalui pendekatan:

- Public awarness

- Public services

- Public campain

d. Keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang sudah diatur setiap tahapannya secara nasional (umum) dalam PP, Permendagri, dan Draft Kepmenkimpraswil, untuk lebih operasional diperlukan adanya pendalaman dari pedoman tersebut di tiap level penataan ruang (Propinsi, Kabupaten, Kota, dan Kawasan).

e. Untuk mewujudkan pelibatan masyarakat perlu adanya suatu komitmen antar stakeholder (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk menaati rule of the game dari penataan ruang.

f. Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang tersebut perlu terus didorong untuk melibatkan masyarakat dengan pendekatan community driven planning. Dengan pendekatan peran serta masyarakat ini diharapkan :

· Terciptanya kesepakatan dan aturan main (rule of the game) di masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial disebabkan program penataan ruang yang disusun sesuai dengan aspirasinya.

· Meningkatnya rasa memiliki masyarakat (sense of belonging) terhadap program pemanfaatan ruang yang sejalan dengan terakomodasinya aspirasi mereka dalam program penataan ruang tersebut yang pada akhirnya dapat terwujud pembangunan yang efisien dan efektif.

· Mewujudkan masyarakat madani yang dapat memenuhi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhannya sendiri seiring dengan proses pembelajaran berpartisipasi yang terkandung dalam pendekatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.

· Meningkatnya legitimasi program pembangunan di daerah karena disepakati secara bersama-sama yang pada akhirnya dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)

g. Dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam penataan ruang maka good governance dapat diwujudkan yang pada akhirnya semakin meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan di daerah. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel, berakhlak, dan berorientasi pada rakyat.

Read more

Komentar FB

ya Like Tappami Tori

Semua tentang AlterBridge

 

Mandar Photo Gallery Design by Insight © 2009