Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang
Oleh : Kasubdit Peran Masyarakat Direktorat Penataan Ruang Nasional
(Disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Rencana Tata Ruang Propinsi se - Sumbagsel, di Palembang 30 September 2002)
I. LATAR BELAKANG
Penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang bertempat tinggal di ruang yang nyaman dan lestari. Melalui penatan ruang pada akhirnya hak seseorang (property right) dapat terlindungi tanpa menghambat inovasi dan kreatifitasnya. Oleh sebab itu, penerapan prinsip-prinsip penataan ruang dalam pembangunan perkotaan sangat relevan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang sistematis dan terintegrasi.
Upaya penataan ruang dalam mendukung pembangunan kota akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Apabila dicermati secara seksama, maka fenomena pelibatan masyarakat akan mendapat sambutan sangat positif dari seluruh stakeholder, khususnya masyarakat, apabila mereka merasa mendapat nilai tambah "yang terlihat nyata secara ekonomis". Keterlibatannya pun tanpa didorong dan dipaksa oleh siapapun.
Konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam Penataan Ruang sejalan dengan TAP MPR IV/MPR/2000 tentang rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pasal 12 UU 24/92 dan PP 69/96 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholder utama pembangunan.
A. Urgensi Penataan Ruang dalam Rangka Pengembangan Wilayah
Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi pada masa lalu membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi, partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan muncul komitmen untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas. Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI).
Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif. Berdasarkan hal tersebut, penataan ruang merupakan alat keterpaduan pembangunan lintas sektor dan wilayah. Diharapkan dengan adanya penataan ruang, pengembangan wilayah dapat direkayasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Koreksi terhadap kegagalan pasar yang disebabkan pasar tidak dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dapat dilakukan akibat adanya upaya rekayasa yang dilaksanakan. Secara skematis, konsepsi penataan ruang dalam pengembangan wilayah dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
T
Mengingat hal tersebut, sangat mungkin bahwa penataan ruang masa lampau akan tidak sesuai dengan penataan ruang masa kini. Dengan demikian, penataan ruang harus lebih dilihat sebagai proses dan bukan merupakan akhir dari suatu usaha mewujudkan masa depan yang ideal karena kata ideal akan berbeda-beda dari satu masa ke masa yang akan datang. Dengan adanya proses pelibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang akan muncul suatu sistem evaluasi dari kegiatan penataan ruang yang telah dilakukan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang yang telah dilakukan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang selanjutnya.
Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat (city as engine of economic growth) yang berkeadilan sosial (social justice) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound).
B. Isu-isu Stratejik Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang
Beberapa isu stratejik yang patut diperhatikan dalam kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam penataan ruang adalah:
a. Kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.
b. Kurang terbukanya para pelaku pembangunan dalam menyelenggarakan proses penataan ruang yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.
c. Masih rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.
d. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest) akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama.
e. Kurang optimalnya kemitraan atau sinergi antara swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
f. Persoalan yang dihadapi dalam hal perencanaan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pembangunan yang telah terjadi, rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang telah mengakibatkan dampak negatif sebagai berikut:
· Rendahnya rasa memiliki dari masyarakat atas program/proyek pembangunan kota yang disusun. Akibatnya telah mengakibatkan keberlanjutan (sustainability) dari program/proyek yang dilaksanakan tidak terwujud.
· Program/proyek pembangunan kota yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakatnya.
· Munculnya biaya transaksi (transaction cost) yang sangat mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dari program/proyek pembangunan sehingga seringkali muncul penolakan atas program/proyek yang dilaksanakan.
II. PENGERTIAN-PENGERTIAN
1 | Pemberdayaan | : | Kata pemberdayaan mngesankan arti tangguh atau kuat. Menurut Rappaport (1985), praktek yang berbasiskan pemberdayaan adalah bahasa pertolongan yang diungkapkan dalam simbol-simbol yang mengkomunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-hal yang terkandung dalam diri kita dan masyarakat di sekitar kita. |
2 | Pemberdayaan Masyarakat | : | Upaya dalam menguatkan dan memampukan masyarakat dalam rangka memandirikan dan menempatkan/mendudukan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan (masyarakat sebagai perencana, pelaksana, sekaligus sebagai pemilik dan pengendali program pembangunan). Dalam pemberdayaan masyarakat yang penting adalah bagaimana mendudukan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif dan bukan yang pasif. |
3 | Masyarakat | : | Secara umum merupakan bagian dari penduduk diluar pemerintah dan diluar kelompok pengusaha swasta. |
4 | Komunitas | : | Kelompok individu/masyarakat yang hidup dan saling berinteraksi dalam daerah atau satuan wilayah tertentu. |
5 | Partisipasi | : | Atau biasa dikenal juga dengan istilah peranserta, adalah berkenaan dengan keikutsertaan dalam satu atau beberapa bagian dari suatu siklus proses kegiatan/pembangunan. |
6 | Peranserta Masyarakat | : | Berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. |
7 | Pelibatan Masyarakat | : | involvment (interfensi pemerintah untuk mendorong masyarakat agar terlibat dalam kegiatan penataan ruang lebih terlihat) |
8 | Tata Ruang | : | Wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. |
9 | Rencana Tata Ruang | : | Hasil perencanaan tata ruang |
10 | Penataan Ruang | : | Proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang kota. |
11 | Pemanfaatan Ruang | : | Rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang. |
12 | Pengendalian Pemanfaatan Ruang | : | Kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang: pengawasan diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi: penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sangsi |
III. PERATURAN DAN KEBIJAKAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG
A. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Bila dicermati lebih dalam, UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang pasal 12 disebutkan bahwa “penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa penataan ruang tidak akan dapat diimplementasikan jika tidak melibatkan masyarakat dalam semua prosesnya. Pada kenyataannya, praktek-praktek penataan ruang masa lalu yang hanya melibatkan elit-elit politik atau representatif (biasanya DPR/DPRD) dan menafikan pelibatan masyarakat, terbukti telah mengakibatkan penataan ruang tidak diikuti oleh semua pihak. Sering kali rencana tata ruang sebagai produk perencanaan ruang dan bagian dari proses penataan ruang hanya menjadi koleksi perpustakaan atau lemari instansi pemerintah.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa pelibatan masyarakat dalam penataan ruang merupakan suatu keharusan dan menjadi prinsip dasar yang harus diterapkan dalam pelaksanaan penataan ruang.
B. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996 tentang Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
C. Peraturan Mendagri Nomor 9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996, maka perlu ditetapkan Permendagri tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Hal-hak yang terkandung didalam Permendagri tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan dan penetapan rencana tata ruang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan peranserta masyarakat.
2. Peranserta masyarakat dapat dilakukan oleh orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hokum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah dibantu Bappeda tingkat I/II dan TKPRD tingkat I/II berperan dalam menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan yang disampaikan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang.
4. Tata cara peranserta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang di Daerah meliputi tahap: persiapan, penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan perencanaan tata ruang, dan penetapan rencana tata ruang.
5. Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran, memberdayakan dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang.
D. Draft Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang.
Dalam rangka mengoperasionalisasi pelibatan masyarakat dalam penataan ruang, pemerintah melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mencoba untuk menyusun Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang. Pedoman ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dan sebagai hub dari pedoman-pedoman yang ada.
Dalam proses penyusunannya, pedoman ini dilakukan dengan melakukan serangkaian diskusi dengan pihak-pihak terkait dalam penataan ruang seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga profesional, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perguruan Tinggi, Kelompok Masyarakat, dan instansi pemerintah sendiri baik ditingkat pusat maupun daerah.
Adapun muatan-muatan yang terkandung didalam Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang secara garis besar mencakup :
1. Pengertian Peranserta dan Pelibatan Masyarakat dalam pemanfaatan ruang.
2. Prinsip Dasar dari Peranserta dan Pelibatan Masyarakat dalam pemanfaatan ruang.
3. Tujuan dan Ruang Lingkup Pelibatan Masyarakat
4. Peran Masing-masing Stakeholder
5. Mekanisme Dan Prosedur Pemanfaatan Ruang
6. Kelembagaan Dan Pembiayaan
Perlu diakui bahwa proses pelibatan masyarakat dalam penataaan ruang termasuk dalam “teori lama” tetapi “praktek yang baru”. Dengan demikian, pedoman ini masih sangat membutuhkan banyak penyempurnaan dan diskusi yang menyeluruh dengan pelaku pembangunan sehingga pada akhirnya dapat muncul kesepakatan bersama untuk melaksanakannya.
E. Agenda Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang
IV. PARADIGMA BARU PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG
Dalam rangka menerapkan penataan ruang untuk pada akhirnya mewujudkan pengembangan wilayah seperti yang diharapkan, maka terdapat paradigma yang harus dikembangkan sebagai berikut:
· Otonomi Daerah (UU No.22/1999) tentang Pemerintahan Daerah, mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembangunan. Paradigma ini akan memperpendek jarak dan birokrasi dalam pengambilan keputusan. Kondisi tersebut sekaligus akan mendorong dan memberi porsi yang lebih besar pada keterlibatan masyarakat.
· Pembangunan wilayah tidak terlepas dari pembangunan dunia (globalisasi), investor akan menanamkan modalnya di daerah yang memiliki kondisi politik yang stabil dan didukung sumberdaya yang memadai;
· Mendorong kemitraan atau peran masyarakat dengan pelaku lainnya;
· Pemberdayaan Masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam era yang serba transparan sekarang ini.
· Good Governance
Iklim dan kinerja yang baik dalam pembangunan perlu dijalankan. Karakteristiknya adalah partisipasi masyarakat, transparasi, responsif dan akuntabilitas.
A. Tuntutan Masyarakat Terhadap Penataan Ruang
Seiring dengan demokratisasi yang menjadi tuntutan bersama masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang madani (civil society), maka hal ini pun tidak luput berimbas terhadap proses penataan ruang. Berdasarkah hal tersebut, prinsip-prinsip penataan ruang yang pada umumnya dituntut masyarakat mencakup:
a) Masyarakat harus dijadikan ujung tombak dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi (growth) nasional.
b) Perlu adanya upaya penguatan dan fasilitasi peran masyarakat aga mampu menciptakan daya saing ekonomi baik internal maupun eksternal dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan.
c) menciptakan sumber daya manusia yang ulet, pandai, tangguh, dan berdaya tahan tinggi.
d) Tercipta transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penataan ruang.
e) Penataan ruang (khususnya pemanfaatan ruang) harus responsif dengan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, guna mewujudkan peran masyarakat yang seutuhnya, proses pelibatan masyarakat tidak boleh berhenti sampai pada tahap tokenism yaitu hanya bersifat konsultasi dan sosialisasi, akan tetapi harus terlihat jelas bahwa aspirasi masyarakat terefleksi dalam setiap proses penataan ruang. Oleh sebab itu, saluran-saluran aspirasi masyarakat harus diformulasikan secara jelas, sehingga apabila terjadi penyimpangan dilapangan dari proses penataan ruang, masyarakat dapat melakukan pengawasan dan berpartisipasi aktif.
B. Reposisi Penataan Ruang
Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi pada masa lalu membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi, partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, terdapat rasa memiliki masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan dan muncul komitmen untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas.
Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI). Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif.
Rencana tata ruang ini tidak hanya memberikan arahan program pembangunan untuk kepentingan pengembangan daerahnya tetapi sekaligus membantu mensinerjikan potensi antar wilayah dan mengoptimalkan kontribusi pada ekonomi nasional dan tugas-tugas lainnya yang memang menjadi “national concern”.
Memperhatikan hal-hal tersebut serta prioritas-prioritas pembangunan nasional dan dalam upaya mencari dan memantapkan peran baru penataan ruang, serta mendorong percepatan pelaksanaan otonomi daerah, maka Penataan Ruang disusun untuk mendorong sinergi antara berbagai prioritas pembangunan daerah dengan dukungan prasarana dan sarana wilayah serta memperhatikan berbagai upaya penanganan permasalahan strategis nasional, termasuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah melalui pendekatan pengembangan wilayah holistik.
Dalam penerapannya, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
a) Partisipatif, yaitu melibatkan stakeholder mulai dari penyiapan kerangka acuan, perencanaan tata ruang, sampai dengan pelaksanaan hingga pengendalian.
b) Menciptakan hubungan pusat dan daerah dengan baik dalam proses penataan ruang.
c) Dalam penyusunan penataan ruang perlu memperhatikan keberpihakannya kepada usaha kecil menengah, yang telah terbukti memberikan kontribusi kepada pendapatan nasional secara signifikan.
d) Perlu mengoptimalkan keterpaduan darat dan laut dalam satu sistem penataan ruang.
e) Perlunya memiliki kebijakan dan strategi yang konkrit, seperti keterpaduan program semua sektor, mengedepankan peran masyarakat, memperhatikan keunggulan lokal, akomodatif terhadap berbagai masukan, pembangunann yang konsisten dengan tata ruangnya, penegakan hukum yang konsisten, dan kerja sama antar wilayah.
V. PRINSIP, TUJUAN, DAN KENDALA PELIBATAN MASYARAKAT
A. Prinsip Pelibatan Masyarakat
Dalam kaitan dengan upaya untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang guna mendukung pembangunan kota, maka beberapa prinsip dasar pelibatan masyarakat dalam penataan ruang adalah sebagai berikut:
1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;
2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;
3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesional.
Prinsip-prinsip dasar tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak difahaminya.
B. Tujuan Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang
Sebagai pihak yang paling terkena akibat dari pemanfaatan ruang, masyarakat harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak dipahaminya. Untuk itu perlu suatu upaya guna menempatkan masyarakat pada porsi yang seharusnya. Apabila dikaitkan dengan Good Governance, maka upaya membangun semangat peranserta masyarakat dalam penataan ruang bertujuan untuk:
1. Menumbuhkembangkan semangat akuntabilitas atau kesadaran atas hak dan kewajiban masyarakat dan stakeholder lainnya dalam memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
2. Meningkatkan kesadaran kepada pelaku pembangunan bahwa masyarakat bukanlah obyek pemanfaatan ruang, tetapi justru merekalah pelaku dan pemanfaat utama yang seharusnya terlibat dari proses awal sampai akhir dalam memanfaatkan ruang.
3. Mendorong masyarakat dan civil society organization atau lembaga swadaya masyarakat untuk lebih berperan dan terlibat dalam memanfaatkan ruang.
C. Kendala Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
Beberapa hal pokok yang merupakan kendala utama dalam penataan ruang adalah:
a. Rendahnya pendidikan, pemahaman, kesadaran implementatif, konsistensi, dan komitmen di kalangan masyarakat akan peran yang seharusnya dapat dilakukan.
b. Kebijakan Pemerintah yang belum sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat dan belum tingginya kesungguhan Pemerintah dalam mendukung dan mengalokasikan resources dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.
c. Kurang terbukanya para pelaku pembangunan (masih adanya gap feeling) dalam menyelenggarakan proses penataan ruang yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.
d. Masih rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.
e. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut karena mereka menginginkan setiap keputusan yang diambil melibatkan mereka.
f. Masih sedikitnya produk pengaturan yang mengacu paradigma yang menempatkan komunitas sebagai subyek atau pelaku pembangunan.
Berdasar kendala-kendala yang terdapat diatas, upaya keras untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang sesungguhnya harus terus diupayakan. Upaya-upaya tersebut tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh pemerintah. Mengingat hal tersebut, kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (ornop), tokoh masyarakat, dewan perwakilan rakyat, dan pihak-pihak terkait lainnya harus terus diupayakan.
VI. UPAYA PENINGKATAN PELIBATAN MASYARAKAT
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam mendorong masyarakat agar dapat ikut terlibat dalam proses penataan ruang antara lain melalui pertemuan dengan warga, maupun berbagai kegiatan yang melibatkan forum–forum warga, Lembaga Swadaya Masyarakat, swasta, DPR/DPRD dan pelaku pembangunan lainnya (organisasi non Pemerintah). Pelibatan masyarakat sejak dari perencanaan tata ruang merupakan keinginan dari Pemerintah mengingat bahwa bentuk rencana tata ruang yang aspiratif atau memenuhi aspirasi masyarakat sehingga rencana tersebut diakui dan dimiliki oleh masyarakat.
Selain itu Departemen Kimpraswil juga terus mendorong bertumbuh kembangnya upaya yang dilakukan oleh UKMK, dan juga melakukan berbagai upaya-upaya seperti mendorong pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat (P2BPM) melalui program tribina (bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan), penataan lingkungan permukiman kumuh baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Dorongan tersebut juga dilakukan melalui paket program yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
a) komponen pemberdayaan sosial kemasyarakatan;
b) peningkatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan;
c) pendayagunaan prasarana dan sarana;
d) bantuan bergulir bersifat stimulatif untuk memugar rumah yang tidak/kurang layak huni;
e) pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi.
Sebagai gambaran dari sebagian potret daan upaya terlibatnya masyarakat dalam proses penyelenggaraan Penataan Ruang beberapa profil singkat dari berbagai stakeholder dapat digambarkan sebagai berikut:
- IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiative), misalnya mencoba melakukan proses riset aksi di tiga kota sebagai upaya membangun body of collective knowledge tentang partisipasi dan governance.
- BUILD (Breakthrough Urban Initiatives for Local Development), suatu program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan UNDP/UNCHS yang bertujuan untuk meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam kerjasama dengan swasta dan masyarakat, khususnya fasilitasi stakeholders dalam pengelolaan pembangunan perkotaan.
Program ini lebih ditekankan pada penciptaan good urban management dan good urban governance untuk kota kecil dan kota sedang, sehingga terbentuk suasana yang mengarah pada proses reinventing local goverments dan terbangun komitmen partisipasi masyarakat serta proses yang transparan. Untuk mencapai tujuan ini, ada 3 strategi yang ditempuh oleh BUILD yaitu:
1. Memperkenalkan reformasi dan membangun praktek-praktek partisipasi masyarakat dalam manajemen perkotaan;
2. Mendokumentasikan hasil-hasil tersebut untuk didesiminasikan ke kota lain;
3. Memanaj perubahan dengan mengkoordinasikan dan memonitor kinerjanya.
- URDI (Urban and Regional Development Institute), melalui program Local Government Best Practise mencoba mengidentifikasi berbagai inovasi yang telah dikembangkan dan diimplementasikan Pemerintah Daerah. Hasil identifikasinya tentunya akan disebarluaskan dan diharapkan dapat menjadi katalis sekaligus “energizer” gerakan mewujudkan good government.
- CSO’s (Civil Society Organisation), mengakatalis proses kesadaran menuju good governance di Indonesia, dengan:
- Peningkatan Kesadaran
- Advokasi Kebijakan
- Pengembangan Institusi
- Pengembangan Kapitalis
- PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) juga concern terhadap proses pemberdayaan masyarakat, yang antara lain melalui program hibah yang diberikan kepada pemerintah, NGO’s, CBO’s dan Universitas seperti:
Technical Assitance for Parliamentary and Public Participation. Wujudnya adalah mendukung dan melengkapi DPR dengan media center dan juga Poverty Allevation Throurgh Rural-Urban (PARUL).
- United States Agency for International Development (USAID) telah mendorong penyusunan Pedoman Penyusunan Program Dasar Pembangunan Perkotaan (PDPP) untuk merespon pelaksanaan otonomi daerah beserta pelatihannya dan juga mendorong terbentuknya asosiasi propinsi dan asosiasi walikota.
- Departement for International Development (DFIF) concern pula dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program hibah dan asistensi bagi pemerintah dan civil society dalam kerangka pengurangan kemiskinan dengan memberikan bantuan untuk upaya proses konsultasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
- Gesellschaft fur Technische Zusammenarbiet (GTZ), concern dalam pemberdayaan masyarakat melalui antara lain program technical cooperation seperti: Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi. Selain itu juga memberikan small grant kepada LSM untuk gagasan yang dianggap inovatif dalam mendorong partisipasi dan good governance.
- Bank Dunia, melalui program pinjaman, hibah dan investasi yang diberikan kepada pemerintah maupun masyarakat sipil, yaitu:
- Learning and Innovation Loan (LIL)
- Urban Poverty Project
- Kecamatan Development Program (KDP)
- Kabupaten Governance Reform Initiatives Program
- ADB (Asian Development Bank) melalui program pinjaman dan technical assistence yang diberikan kepada pemerintah dan masyarakat sipil untuk memperbaiki kualitas governance.
VII. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM SETIAP TAHAPAN PERENCANAAN TATA RUANG
Pemanfaatan ruang bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pemanfaatan ruang oleh masyarakat dapat dilakukan secara orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum. Komponen-komponen tersebut adalah stakeholder dalam pemanfaatan ruang.
Secara kategoris, stakeholder pemanfaatan ruang dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan, terdiri dari:
- Eksekutif, seperti Bappenas, DepKimpraswil, Depdagri, BPN, Bappeda, Sekretariat Daerah dan Kepala Daerah serta Instansi sektoral Pusat dan Daerah seperti Dinas/Kantor terkait yang mempunyai fungsi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Pertambangan, Kelautan, Perhubungan, Lingkungan Hidup/Bappedal, Kepariwisataan;
- Legislatif, seperti DPR dan DPRD I dan DPRD II;
- Yudikatif.
Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kewenangan dalam mengambil atau membuat kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:
a. Menyusun produk hukum dan aturan main (seperti norma, standar, pedoman, petunjuk dan kriteria) yang berkaitan dengan peran dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan ruang;
b. Merevisi kebijakan yang ada baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas;
c. Melakukan review atau penilaian atas kemampuan seluruh pejabat publik terkait pemanfaatan ruang untuk ditindak lanjuti dengan peningkatan kemampuan atau pun penempatan kembali pada posisi yang sesuai (fit and proper);
d. Memberikan komitmen politik, khususnya bagi legislatif dan eksekutif, dalam membuat kebijakan pemanfaatan ruang dengan berpihak pada kesejahteraan masyarakat;
e. Melakukan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia yang ada, baik profesional, birokrat maupun warga masyarakat agar lebih mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang dengan baik dan benar;
f. Mengembangkan komunikasi antar stakeholder melalui berbagai media yang sudah dikuasai maupun yang belum dikuasai oleh warga masyarakat;
g. Mendorong bantuan ke sasaran yang lebih tepat, yaitu masyarakat setempat seperti misalnya mendorong block grand dari kecamatan ke desa ;
h. Melakukan kajian beaya sosial budaya dan ekonomi dalam pemanfaatan ruang untuk diinformasikan kepada stakeholder;
i. Melakukan pengembangan awarness tentang penataan ruang melalui berbagai upaya, seperti penyederhanaan fungsi kawasan agar bisa difahami dan dimengerti warga atau forum warga, mengembangkan serta legalisasi forum warga.
(2) Stakeholder yang terkena dampak dari kebijakan, terdiri dari:
- Kelompok Warga Setempat;
- Warga sesuai dengan kelompok kegiatannya, seperti kelompok Nelayan, Buruh Tani, Pemakai Air, Forum Agama dan sebagainya.
Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang terkena dampak kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:
a. Mendorong pengembangan forum warga;
b. Berupaya mendapatkan manfaat lebih besar dari pemanfaatan ruang yang mencakup wilayahnya;
c. Berupaya meminimalisasi konflik pemanfaatan ruang dengan berorientasi keuntungan dan kesejahteraan masyarakat.
(3) Stakeholder yang mengawasi kebijakan, terdiri dari:
- DPR;
- DPRD I dan DPRD II;
- LSM;
- Pers/Media massa;
- Forum Warga;
- Partai Politik;
- Asosiasi Profesi; dan
- Perguruan Tinggi.
Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mengawasi kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:
a. Melakukan pengawasan secara benar atas proses dan produk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh stakeholder;
b. Menghidupkan fungsi pengawasan dan guardian angel dalam pemanfaatan ruang;
c. Melembagakan mekanisme pengawasan publik yang transparan dan akuntabel;
d. Melakukan kajian-kajian untuk meningkatkan fungsi pengawasan yang bermoral.
(4) Stakeholder kelompok Interest dan Presure Group yang terkait kebijakan, terdiri dari:
- Partai Politik;
- LSM;
- Pengusaha;
- Forum Warga;
- Asosiasi Profesi;
- Perguruan Tinggi; dan
- Kelompok Mediasi.
Peran yang dilakukan oleh stakeholder kelompok interset dan presure group dalam pemanfaatan ruang adalah:
a. Melakukan berbagai upaya penyadaran berbagai stakeholder atas hakekat pemanfaatan ruang yang baik dan benar yaitu lestari dan berkesinambungan;
b. Melakukan kampanye tentang transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemanfaatan ruang;
c. Melakukan sosialisasi dan mediasi dari proses dan produk pemanfaatan ruang;
d. Melakukan upaya-upaya yang menguntungkan dalam pemanfaatan ruang, seperti melalui pilot project atau kegiatan sejenis.
(5) Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan atau kebijakannya berjalan, terdiri dari:
- Presure group, seperti Partai Politik, LSM, dan Forum Warga;
- Kelompok Pendukung, seperti Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi, Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kelompok Mediasi.
Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/ kebijakan berjalan dengan baik dan lancar dalam pemanfaatan ruang adalah:
a. Melakukan upaya pelembagaan proses partisipasi atau pelibatan masyarakat;
b. Melakukan sosialisasi peran serta atau pelibatan masyarakat;
c. Membangun saluran-saluran dan simpul-simpul partisipasi;
d. Menggali dan mempertimbangkan nilai-nilai dan kearifan lokal;
e. Mendesiminasikan best practices;
f. Memantapkan metode dan sistem informasi pemanfaatan ruang;
g. Menterpadukan kelembagaan dan aparat terkait agar pemanfaatan ruang berjalan baik.
Peran masing-masing stakeholder tersebut berlaku untuk berbagai tingkatan hirarki seperti Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, akan tetapi bentuk dan tatacara kegiatannya bisa saja berbeda. Peran tersebut dapat dilakukan oleh stakeholder baik secara sendiri maupun berkelompok atau bersinergi sesuai dengan networking yang dimilikinya.
A. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Propinsi
Dalam proses penyusunan RTRW Propinsi, peran serta masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses dimulai dari tahap persiapan sampai pada tahap pengesahan. Untuk itu, Pemerintah Propinsi harus selalu mengundang representasi masyarakat (misal: anggota DPRD, LSM, Forum Kota, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ikatan profesi) untuk ikut terlibat dalam setiap tahapan penyusunan RTRW Propinsi.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW Propinsi dapat berupa:
a. Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan;
b. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan;
c. Pemberian masukan dalam perumusan RTRW Propinsi;
d. Pemberian informasi atau pendapat dalam pernyusunan strategi penataan ruang;
e. Pengajuan keberatan atau sanggahan terhadap rancangan RTRW Propinsi;
f. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;
g. Bantuan tenaga ahli.
Wujud peranserta masyarakat dalam persiapan penyusunan dimulai dengan mengetahui penyusunan RTRW Propinsi melalui pengumuman. Pengumuman tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Propinsi, dan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan forum pertemuan.
Peran serta masyarakat dalam tahap penyusunan rencana dapat dilakukan pada langkah-langkah penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan rencana, hingga penetapan rencana (melalui DPRD Propinsi). Peran serta tersebut berbentuk pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan serta pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindak lanjut dari masukan tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Propinsi yang dapat diwujudkan melalui pembahasan yang dilakukan dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat bersama Pemerintah Propinsi. Instansi yang berwenang selanjutnya menyempurnakan Rancangan RTRW Propinsi dengan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat dan hasil pembahasan dalam forum pertemuan.
B. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Kabupaten
Dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten, peran serta masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses dimulai dari tahap persiapan sampai pada tahap pengesahan. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten harus selalu mengundang masyarakat untuk ikut terlibat dalam setiap tahapan penyusunan RTRW Kabupaten.
Bentuk-bentuk peranserta masyarakat dalam penyusunan RTRW Kab. dapat berupa:
a. Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan;
b. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan;
c. Pemberian masukan dalam perumusan RTRW Kabupaten;
d. Pemberian informasi atau pendapat dalam pernyusunan strategi penataan ruang;
e. Pengajuan keberatan atau sanggahan terhadap rancangan RTRW Kabupaten;
f. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;
g. Bantuan tenaga ahli.
Wujud peran serta masyarakat dalam persiapan penyusunan dimulai dengan mengetahui penyusunan RTRW Kabupaten melalui pengumuman. Pengumuman tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Kabupaten, dan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan forum pertemuan.
Peran serta masyarakat dalam tahap penyusunan rencana dapat dilakukan pada langkah-langkah penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan rencana, hingga penetapan rencana (melalui DPRD Kabupaten). Peran serta tersebut berbentuk pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan serta pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindak lanjut dari masukan tersebut menjadi kewajiban dari pihak Pemerintah Kabupaten yang dapat diwujudkan melalui pembahasan yang dilakukan dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat bersama Pemerintah Kabupaten. Instansi yang berwenang selanjutnya menyempurnakan Rancangan RTRW Kabupaten dengan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat dan hasil pembahasan dalam forum pertemuan.
C. Keterlibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota
Dalam rangka mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan perkotaan, terutama untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat perkotaan, hak dan kewajiban masyarakat kota harus tercermin dalam proses perencanaan. Dengan demikian, produk rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan hasil kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders), termasuk masyarakat.
Peranserta masyarakat dalam penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan menganut asas-asas demokratis, kesetaraan gender, dan keterbukaan. Pendekatan ini merupakan dasar bagi pendekatan “community driven planning” yang menjadikan masyarakat sebagai penentu dan pemerintah sebagai fasilitatornya. Sejalan dengan proses penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan yang iteratif, maka keterlibatan masyarakat ada pada setiap proses tersebut dan selalu tanggap dan mengikuti setiap dinamika dan perkembangan di dalam masyarakat.
Peranserta masyarakat dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk pengajuan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah. Dalam mengajukan usul, memberikan saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang Kawasan Perkotaan dapat dilakukan melalui pembentukan forum kota, asosiasi profesi, media massa, LSM, lembaga formal kemasyarakatan (sampai tingkat lembaga perwakilan rakyat).
VIII. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM SETIAP TAHAPAN PEMANFAATAN RUANG
Pemanfaatan ruang merupakan satu tahapan untuk mengimplementasikan rencana tata ruang dengan mengerahkan sumber daya yang ada guna mencapai tujuannya. Langkah-langkah pemanfaatan ruang diidentifikasi sebagai berikut:
(1). Adjustment/Penyesuaian;
(2). Penyusunan program pemanfaatan;
(3). Penyusunan pembiayaan program;
(4). Pengurusan proses perijinan;
(5). Pelaksanaan pembangunan.
(1). Adjustment/Penyesuaian
Dalam proses adjustment dari rencana tata ruang wilayah Nasional, tata ruang wilayah Propinsi, tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, stakeholder yang berwenang membuat/mengambil kebijakan, khususnya dari lembaga eksekutif yang terdiri dari Menteri terkait, Gubernur, Bupati/Walikota wajib mensosialisasikan dan mengadaptasikan kepada stakeholder yang akan terkena dampak langsung atas pelaksanaan pembangunan. Dalam hal adjustment Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan atau Rencana Teknik Ruang (RTR), sosialisasi dan adaptasi kepada masyarakat pada wilayah peruntukan sebagaimana dilakukan melalui instansi yang berwenang.
Ketiga stakeholder lainnya melakukan pengawasan, dorongan, mediasi, dan penciptaan iklim yang kondusif agar proses adjustment berjalan lancar, transparan dan akuntabel. Inisiatif dari adjutment bisa dimulai dari Eksekutif mapun stakeholder yang terkena dampak atau stakeholder lain yang telah mengetahuinya dengan mengajukan permintaan kepada institusi yang berwenang.
Sosialisasi rencana tata ruang sebagaimana disebut diatas dilaksanakan paling tidak selama 7 (tujuh) hari berturut-turut melalui media cetak yang terbit dan atau beredar pada wilayah setempat, media elektronik yang berada dan atau siaran/penayangan mencakup wilayah yang bersangkutan, serta dimungkinkan melalui forum-forum pertemuan antar stakeholder. Proses adaptasi dilaksanakan dengan waktu sesuai kebutuhan, paling tidak 14 (empat belas) hari sebelum penyusunan program pemanfaatan. Forum pertemuan tersebut diadakan sampai pada tingkat:
(a) Propinsi untuk sosialisasi dan adaptasi RTRWN;
(b) Kabupaten/Kota untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Propinsi ;
(c) Kecamatan untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Kabupaten/Kota;
(d) Desa/kelurahan untuk sosialisasi dan adaptasi RDTR Kawasan;
(e) Rukun Warga dan Rukun Tetangga untuk sosialisasi dan adaptasi Rencana Teknik Ruang.
(2). Penyusunan Program Pemanfaatan
Penyusunan program dan kegiatan pemanfaatan ruang dikelompokkan menjadi penentuan program dan kegiatan serta penentuan tahapan waktu pencapaian kegiatan.
a. Penentuan Program dan Kegiatan
Penentuan program dan kegiatan disusun untuk mendorong implementasi rencana tata ruang dengan pola pemberian insentif dan disinsentif atas pemanfaatan ruangnya. Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri/Gubernur /Bupati/Walikota.
Kebijakan insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, yang dilaksanakan antara lain melalui penetapan kebijakan di bidang ekonomi, sosial, fisik, dan pelayanan umum. Sedangkan kebijakan disinsentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang dilaksanakan antara lain melalui penolakan pemberian perizinan pembangunan, pembatasan pengadaan sarana dan prasarana.
Kebijakan Nasional atas kawasan yang perlu diberi insentif dan disinsentif ditetapkan oleh Menteri, sedangkan kebijakan umum kriteria kawasan ditetapkan oleh Gubernur dengan mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Sementara itu kebijakan teknis kawasan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada kebijakan umum yang ditetapkan oleh Gubernur. Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi dan menghapuskan hak-hak penduduk sebagai warga negara dan tetap menghormati hak-hak masyarakat yang melekat pada ruang. Selain itu program dan kegiatan tersebut disusun dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari semua stakeholder yang dijaring melalui berbagai media yang tersedia.
b. Penentuan Tahapan
Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, RTRW Nasional Propinsi/Kabupaten/Kota dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (jangka menengah) Propinsi/Kabupaten/Kota, dan dijabarkan dalam program tahunan (jangka pendek) pemanfaatan ruang.
Penyusunan program dan kegiatan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya diutamakan kepada kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya guna mendukung pembentukan struktur dan pola pemanfaatan ruang Nasional/Propinsi/ Kabupaten/Kota, yang dialokasikan sesuai dengan tahapan pembangunan. Penyusunan dan pembiayaannya dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan guna tercapainya keselarasan rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana kegiatan pembangunan sektoral, nasional, dan daerah. Pelaksanaan rapat koordinasi antar stakeholder tersebut dilakukan mulai dari tingkatan paling bawah yaitu RT/RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan sampai ke tingkatan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional. Pemanfaatan ruang yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya diselenggarakan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya.
c. Pelaksanaan Penyusunan Program dan Kegiatan
Penjabaran RTRWN/RTRWP/RTRWK ke dalam rencana pembangunan lima tahun Nasional/Propinsi/Kabupaten/Kota dan program tahunan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dilakukan oleh Eksekutif pada level masing-masing, yaitu Nasional oleh Menteri terkait, Propinsi oleh Gubernur yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait, Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai stakeholder. Sementara itu penjabaran RDTR Kawasan atau Rencana Teknik Ruang ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan dan program dan kegiatan tahunan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dilakukan oleh instansi yang berwenang atau badan usaha yang melaksanakan penyusunan Rencana Teknis Ruang tersebut.
Sinkronisasi program rencana kegiatan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya dengan rencana kegiatan sektoral dan daerah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional/Propinsi/Kabupaten/Kota yang melibatkan seluruh stakeholder pada masing-masing tingkatan.
(3). Penyusunan Pembiayaan Program dan Kegiatan
Penyusunan pembiayaan dilakukan oleh stakeholder yang akan melaksanakannya. Dalam hal yang dilaksanakan oleh Pemerintah, maka dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dan berkepentingan sesuai dengan level masing-masing dengan meminta persetujuan dari DPR atau DPRD dan masukan dari masyarakat, swasta, LSM dan stakeholder lainnya.
Komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pembiayaan ini antara lain mencakup perhitungan biaya dan penganggaran, dengan komponen perhitungan yang terdiri dari:
(a) Biaya layanan tenaga ahli utama;
(b) Biaya layanan tenaga ahli pendukung;
(c) Biaya perjalanan;
(d) Biaya bahan;
(e) Biaya pengembangan data dan informasi;
(f) Biaya lain-lain.
Komponen biaya tersebut diatas, tidak termasuk biaya administrasi, publikasi dan pelibatan masyarakat atau forum warga. Penghitungan biaya dan anggaran tersebut berdasarkan pada harga satuan yang berlaku pada wilayah yang bersangkutan. Dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut diatas dapat disesuaikan dengan aturan yang berlaku pada sektor maupun pada pelaku yang menanganinya.
(4). Pengurusan Proses Perizinan
Izin lokasi adalah izin untuk membebaskan tanah di areal yang telah ditetapkan dalam rangka untuk memperoleh tanah tersebut agar hak atas tanah nya dapat diproses. Izin lokasi merupakan sarana untuk mengarahkan dan mengendalikan penggunaan tanah agar sesuai dengan rencana tata ruang pada suatu daerah tertentu. Pemegang izin lokasi tidak mempunyai hak untuk menguasai tanah yang telah ditetapkan pada areal izin lokasi. Karena izin lokasi adalah hanya izin untuk membebaskan tanah bukan untuk menguasai areal yang ditunjuk.
Hak menguasai atau menggunakan tanah pada areal izin lokasi dapat diberikan apabila pemegang izin lokasi telah membebaskan atau telah mengadakan ganti rugi kepada pemilik semula dan telah mempunyai tanda bukti yang syah atau autentik. Izin lokasi ditandatangani oleh Bupati atau Walikota, tetapi data pertanahan sebagai bahan untuk penerbitan SK izin lokasi dipersiapkan oleh Badan/Kantor pertanahan setempat. Sebelum izin lokasi diterbitkan, pemegang izin lokasi harus melaksanakan penjelasan, pemaparan, konsultasi, koordinasi dan pendekatan dengan masyarakat untuk memperoleh dukungan dan partisipasi dari masyarakat.
Pelaporan dan evaluasi dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang pada tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait, pada tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur yang dibantu oleh Bappeda Propinsi, pada tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota yang dibantu oleh Bappeda Kabupaten/Kota.
Pemantauan dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang pada tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait bersama masyarakat, pada tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Dinas Teknis terkait bersama masyarakat, dan pada tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait bersama masyarakat.
Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pemerintah dan Penyidik Publik.
Dalam proses pengurusan perizinan ini masyarakat diberitahu seluruh prosesnya dari awal hingga akhir untuk menghindari penyalahgunaan proses dan kewenangan yang ada.
(5). Pelaksanaan Pembangunan
Pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan tata-urut proses sebagai berikut :
(a) Survey, yang mencakup kegiatan penyelidikan dan pengukuran;
(b) Investigasi, yang merupakan kegiatan pencatatan fakta-fakta atas hasil peninjauan atau penyidikan;
(c) Desain, merupakan kegiatan pembuatan kerangka bentuk atau perancangan;
(d) Konstruksi, merupakan kegiatan pelaksanaan atau pembangunan apa yang ada dalam desain;
(e) Operasional dan pemeliharaan, yang merupakan kegiatan untuk menggunakan atau memfungsikan hasil konstruksi dan pemeliharaan agar berfungsi seoptimal mungkin.
Dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut diatas dapat disesuaikan dengan aturan yang berlaku pada sektor maupun pada pelaku yang menanganinya.
IX. HAL-HAL YANG PERLU DISIAPKAN DALAM PELIBATAN MASYARAKAT
A. Mekanisme Pelibatan Masyarakat
Mekanisme pelibatan masyarakat pada setiap tahapan penataan ruang (perencanaan dan pemanfaatan) telah dibahas dalam sub VII dan VIII.
B. Prosedur Pelibatan Masyarakat
Prosedur pelibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang telah dijelaskan pada sub VII. Prosedur peran masyarakat untuk merealisasikan langkah-langkah pemanfaatan ruang dapat diuraikan sebagai berikut:
(1). Tingkat Nasional
Peran masyarakat pada tingkat nasional dapat berupa pemberian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan yang terkait dengan mekanisme pemanfaatan ruang tersebut diatas. Informasi tersebut disampaikan kepada Menteri terkait selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPR atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Menteri terkait. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia. Masukan yang dipandang perlu dibahas dalam forum pertemuan yang melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merepresentasikan perwakilan stakeholder.
(2). Tingkat Propinsi
Peran masyarakat pada tingkat Propinsi dapat berupa penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan kepada Gubernur selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPRD atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Propinsi. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia.
Informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat tentang indikasi kebijakan maupun yang berkaitan dengan mekanisme pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud diatas yang dianggap signifikan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merupakan representasi stakeholder bersama Gubernur yang dibantu oleh TKPRD Propinsi dan instansi terkait.
(3). Tingkat Kabupaten/Kota
Peran masyarakat pada tingkat Kabupaten/Kota dapat berupa penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan kepada Bupati untuk kawasan perdesaan dan kepada Walikota untuk kawasan perkotaan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua DPRD atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Kabupaten/Kota. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia.
Informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan dari masyarakat tentang penentuan arah pengembangan dan hal lain yang terkait dengan mekanisme pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud diatas, dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang merupakan representasi stakeholder bersama Bupati/Walikota yang dibantu oleh TKPRD Kabupaten/Kota dan instansi terkait.
Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, agama maupun adat dan budaya setempat.
Apabila dengan mekanisme dan prosedur tersebut masih terjadi konflik antar stakeholder dalam memanfaatkan ruang, maka diupayakan cara-cara musyawarah oleh stakeholder untuk tujuan akhir kemaslahatan warga yang terkena dampak, tetapi dengan tidak meningggalkan benefit yang lebih luas.
C. Kelembagaan
Pada tingkat Nasional pemanfaatan ruang dikoordinasikan oleh BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional), sedangkan pada tingkat Propinsi dikoordinasikan oleh TKPRD Propinsi (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) dan pada tingkat Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh TKPRD Kabupaten/Kota. Pada tingkat grass root peran tersebut ditangani oleh LSM atau Forum Warga. Menteri terkait yang berada dalam wadah BKRTRN dan Kepala Daerah yang dibantu oleh Bappeda dan TKPRD dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam proses pemanfaatan ruang berperan dalam level dan tanggung jawab masing-masing untuk:
(1) Mengkoordinasikan proses sosialisasi dan adaptasi produk rencana tata ruang kepada warga masyarakat pada daerah peruntukan;
(2) Menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan yang disampaikan oleh masyarakat dalam proses pemanfaatan ruang;
(3) Menindaklanjuti saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan untuk dijadikan pertimbangan dalam proses pemanfaatan ruang;
(4) Meningkatkan komunikasi dengan masyarakat dalam pemanfaatan ruang dengan menegakkan ketentuan yang berlaku.
Untuk peningkatan implementasi hak dan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan ruang, Menteri atau Kepala Daerah bersama warga masyarakat atau stakeholder lain menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran, memberdayakan dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam pemanfaatan ruang.
Pelaksanaan fungsi kelembagaan tersebut disesuaikan dengan peran dari masing-masing stakeholder seperti yang telah disebut diatas.
X. KESIMPULAN
Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang kota menjadi sangat relevan dalam rangka menciptakan kota yang humanopolis yaitu tata ruang yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang asri berdasar wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Berdasarkan pada beberapa hal yang telah kami uraikan diatas, maka perlu disampaikan beberapa hal pokok yang terkait dengan Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang sebagai berikut:
a. Dalam rangka menerapkan penataan ruang guna mewujudkan pengembangan wilayah seperti yang diharapkan, terdapat paradigma baru dari pemerintah dalam penataan ruang yaitu mengedepankan masyarakat sebagai subyek (dan inisiator) pembangunan.
b. Pemerintah melibatkan masyarakat dan swasta dalam penataan ruang melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Menempatkan masyarakat dan swasta sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;
- Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;
- Menghormati hak yang dimiliki masyarakat dan swasta serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
- Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
- Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesionalisme.
c. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk semakin peduli terhadap penataan ruang dilakukan melalui pendekatan:
- Public awarness
- Public services
- Public campain
d. Keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang sudah diatur setiap tahapannya secara nasional (umum) dalam PP, Permendagri, dan Draft Kepmenkimpraswil, untuk lebih operasional diperlukan adanya pendalaman dari pedoman tersebut di tiap level penataan ruang (Propinsi, Kabupaten, Kota, dan Kawasan).
e. Untuk mewujudkan pelibatan masyarakat perlu adanya suatu komitmen antar stakeholder (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk menaati rule of the game dari penataan ruang.
f. Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang tersebut perlu terus didorong untuk melibatkan masyarakat dengan pendekatan community driven planning. Dengan pendekatan peran serta masyarakat ini diharapkan :
· Terciptanya kesepakatan dan aturan main (rule of the game) di masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial disebabkan program penataan ruang yang disusun sesuai dengan aspirasinya.
· Meningkatnya rasa memiliki masyarakat (sense of belonging) terhadap program pemanfaatan ruang yang sejalan dengan terakomodasinya aspirasi mereka dalam program penataan ruang tersebut yang pada akhirnya dapat terwujud pembangunan yang efisien dan efektif.
· Mewujudkan masyarakat madani yang dapat memenuhi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhannya sendiri seiring dengan proses pembelajaran berpartisipasi yang terkandung dalam pendekatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.
· Meningkatnya legitimasi program pembangunan di daerah karena disepakati secara bersama-sama yang pada akhirnya dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)
g. Dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam penataan ruang maka good governance dapat diwujudkan yang pada akhirnya semakin meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan di daerah. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel, berakhlak, dan berorientasi pada rakyat.
0 Leco Leco na ::
Posting Komentar